Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Bentara.
Ungkapan ini dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Salah satu isinya menyiratkan tentang hukum yang berhulu pada Syiah Kuala, yakni Syeik Abdurrauf.
Aburrauf
merupakan salah seorang ulama pemikir dan penulis ternama di Aceh.
Ia menduduki jabatan sebagai Mufti, yakni penasehat agung beberapa
raja secara pada masa kerajaan Aceh. 2 September 1961 lalu, namanya
ditabalkan sebagai nama universitas negeri pertama di Aceh;
Universitas Syiah Kuala.
Archer,
salah seorang sejarawan barat dalam bukunya “Muhammadan Mysticim in
Sumatra” menyebut Syeikh Abdurrauf sebagai The Great Muslim Saint of
Atjeh, Now Better Known by the Name of Teuku Syiah Kuala.
Syeikh Abdur Rauf atau lebih dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala, lahir di Aceh Singkil pada tahun 1592 Masehi atau 1001 Hijriah. Ia pertama kali mendapat pendidikan agama dari ayahnya, Syeikh Ali Fansuri pendiri Dayah Suro Lipat Kajang di Simpang Kanan, Aceh Singkil.
Setelah mendapat bekal agama yang cukup dari ayahnya, ia hijrah ke Pasai dan belajar di Dayah Blang Pira. dari Pasai ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Arab untuk lebih memantapkan pengetahuannya.
Selama
20 tahun di Jazirah Arab, ia berpindah-pindah dari satu negeri ke
negeri lain, mulai dari Mekkah, Madinah, Yaman, Baitul Makdis, sampai
ke Istambul (Turki). Ia belajar dari satu ulama ke ulama lain. Karena
itu pula, ia saat kembali ke Aceh ia berhak memakai gelar Syeikh.
Setelah
memantapkan pengetahuannya di Arab, ia kembali ke Aceh, dan sampai di
Bandar Kerajaan Aceh pada tahun 1661 Masehi atau 1071 Hujriah. Saat
itu suasana keagamaan di Aceh telah kacau akibat pertentangan dua
ulama besar, Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud
(Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul
Wujud.
Tak mau terlibat dalam pertentangan itu, saat tiba di Pelabuhan Aceh, Syeikh Abdur Rauf menyamar sebagai nelayan. Saat tiba di Aceh tak ada yang mengenalnya. Masyarakat di sekitar Pelabuhan dan pesisir kerjaan Aceh hanya mengenal Syeikh Abdur Rauf sebagai pawang pukat.
Tak mau terlibat dalam pertentangan itu, saat tiba di Pelabuhan Aceh, Syeikh Abdur Rauf menyamar sebagai nelayan. Saat tiba di Aceh tak ada yang mengenalnya. Masyarakat di sekitar Pelabuhan dan pesisir kerjaan Aceh hanya mengenal Syeikh Abdur Rauf sebagai pawang pukat.
Namun, itu tidak berlangsung lama. Lambat laun masyarakat mengenal Syeikh Abdur Rauf yang asli sebagai ulama, ahli dakwah, tabib yang mahir, pendamai yang bijaksana, dan ahli tata negara.|Sumber|
0 komentar:
Post a Comment