Syuhada 44 merupakan istilah
pemberontakan terhadap Jepang yang terjadi pada Kamis, 2 Mei 1945. Tengah malam
Teungku Pang Akob bersama 40 orang pasukannya dari Lheu Simpang menyerbu tangsi
militer Jepang diPandrah. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Pemberontakan
Pandrah.
Pemberontakan terhadap Jepang itu
digerakkan oleh Teungku Pang Akob, Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa,
Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A Jalil. Mereka berdakwah memompa
semangat rakyat untuk berperang dengan Jepang.
Jepang yang saat itu
memberlakukan kerja paksa, menuia kebencian dari masyarakat. Hal itu dijadikan
materi dakwa untuk memberontak. Secara pelahan-lahan rakyat membangkang
terhadap kerja paksa yang diberlakukan Jepang.
Seorang pemuda bernama Nyak Umar,
kemenakan Teungku Pang Akob di Desa Meunasah Dayah malah ditangkap karena
membangkang menolak kerja paksa. Hal itu memberi dorongan kuat bagiTeungku Pang
Akob dalam berdakwah mengkampanyekan jihad melawan Jepang.
Sebelum pemberontakan terjadi,
Teungku Pang Akob pergi menyendiri ke sebuah gua di Cot Kayee Kunyet,
pegunungan Gle Banggalang. Sementara rakyat kampung Leu Simpang dibawah
pimpinan Keuchik Johan sudah bersiap-siap untuk menunggu komando perang.
Nyak Umar yang pernah disiksa
Jepang karena menolak kerja paksa, menyamar sebagai penjual obat keliling. Ia
berjalan dari satu kampung ke kampung lain sambil membisikkan ajakan-ajakan
jihad.
Sementara itu, Muhamamd Daud,
seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gygun, melatih para pemuda
di Gle Blanggalang untuk berperang melawan Jepang. Ia meninggalkan tempat
latihan militernya dibawah didikan Jepang karena ingin bergabung dalam
pemberontakan yang akan dilakukan Teungku Pang Akob.
Saat itu Teungku Pang Akob tidak
akan melancarkan pemberontakan terhadap Jepang pada tanggal 2 menjelang 3 Mei
1945. Alasannya persiapan belum matang. Tapi karena sudah diketahui Jepang,
maka pemberontakan pun dilakukan pada malam menjelang tanggal 3 tersebut.
Rahasia kelompok Teungku Pang
Akob diketahui oleh Jepang dibenarkan oleh Said Ahmad dan Abdullah TWH dari
Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh) mereka diberitahu dan diminta untuk
berangkat ke Jeunieb. Keduanya ditugaskan untuk memberi penerangan kepada
masyarakat tentang maksud pemerintah Jepang yang akan memberikan “kemerdekaan”
kepada Indonesia termasuk Aceh.
Tapi sebelum Said Ahmad dan
Abdullah TWH sampai ke sana, pemberontakan sudah terjadi pada tanggal 2
menjelang 3 Mei 1945. Dalam pertempuran di malam buta tersebut, pasukan Teungku
Pang Akob menyerang tangsi militer Jepang di Pandrah.
Malam itu tidak ada pasukan
Teungku Pang Akob yang tewas, sementara tentara Jepang di tangsi itu berhasil
di bunuh, kecuali satu orang yang berhasil melarikan diri ke induk pasukan
Jepang di Jeunieb. Tujuh anggota Gyugun juga ditangkap di tangsi tersebut, tapi
tidak diapa-apakan. Kemungkinan sudah ada kontak terlebih dahulu sebelum
penyerangan itu dilakukan.
Setelah penyerbuan tersebut,
Teungku Pang Akob dan pasukannya mengundurkan diri ke markasnya di Gle
Banggalang untuk bersiap-siap melakukan penyerbuan baru. Meski mengetahui
keberadaan Teungku Pang Akob dan pasukannya, Jepang tidak menyerbu tapi
menunggu mereka menyerah dan melakukan perjanjian damai.
Mereka dibujuk untuk turun gunung
dan tidak akan dihukum. Said Ahmad dan Abdullah TWH dikirim sebagai utusan
untuk upaya damai tersebut. Teungku Pang Akob kepada para utusan tersebut
mengatakan akan turun untuk berdamai pada 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak
perlu naik ke Gle Banggalang.
Pagi 5 Mei 1945, para perwira
Jepang sudah berkumpul di Meunasah Lheu Simpang bersama satu pasukan siap
tempur. Diantara mereka terdapat pejabat beberapa pejabat daerah
diantaranyaTeuku Yakub, Guntyo Bireuen, Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH dari
Atjeh Syu Hodoka.
Mereka berkumpul di Meunasah
Lheuh Simpang untuk menunggu kedatangan Teungku Pang Akobdan pasukannya dalam
rangka perjanjian damai sebagaimana pernah dijanjikan dua hari sebelumnya.
Para perwira Jepang duduk di
Meunasah, sementara pasukan yang siap tempur berjaga-jaga di kawasan tersebut.
Tiba-tiba terdengar teriak takbir: Allahu Akbar terdengar membahana terus
menerus. Gegap gempita suara takbir tersebut membuat Jepang ketakutan dan
kalang kabut.
Dalam kepanikan Jepang tersebut,
Teungku Pang Akob dan pasukannya keluar dari alur rimbun yang ditutupi
dedaunan. Mereka menyerbu ke perangan meunasah menebas dan menikam tentara
Jepang.
Said Ahmad Dahlan dan Abdullah
TWH lari menyelamatkan diri dalam sebuah alur yang airnya tidak mengalir (alue
siwong). Keduanya baru keluar setelah perang reda. Saat keluar badan mereka
menempel puluhan lintah.
Pertempuran itu selain menewaskan
para perwira Jepang dan serdadunya, juga Guntyo Bireuen,Teuku Yakub ikut
menjadi korban. Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH, saat mereka keluar
dari alur persembunyian mereka melihat tubuh-tubuh Jepang bergelimpangan
bersama pasukanTeungku Pang Akob yang ikut tewas dalam perang tersebut.
Kemudian diketahui jumlah pasukan mujahidin yang meninggal berjumlah 44 orang.
Sampai kini Teungku Pang Akob dan pasukannya yang tewas itu dikenal sebagai
Syuhada 44.
Dampak dari perang di Meunasah
Lheu Simpang tersebut, Jepang melakukan penangkapan paksa di Jeunieb terhadap
siapa saja yang dicurigai terlibat penyerangan tangsi militer Jepang di Pandrah
dan pertempuran di Meunasah Lheu Simpang.
Para pemuda yang ditangkap dan
ditawan Jepang sebagiannya setelah melalui proses pemeriksaan dan penyiksaan
dibebaskan kembali dalam keadaan babak belur. 24 orang yang dianggap bersalah
diangkut ke Medan, 12 diantaranya tidak lagi diperiksa tapi langsung di
eksekusi mati di sana.
Mereka yang dihukum mati itu
adalah: Teungku Abdul Wahab Ali, Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub,
Teungku Abu Thalib, Teungku M Hamzah, Teungku M Husin Bungong, Teungku Agam
Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin Bin Pawang Usman, Teungku
Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang.
12 orang lainya dihukum antara 5
sampai 12 tahun penjara dan dipenjarakan di penjara Pematang Siantar. Enam
orang diantara mereka tewas dalam penjara karena mengalami penyiksaan
berat.Empat dari orang yang tewas dalam penjara itu adalah Teungku Thalib
Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku
Ilyas Yusuf.
Enam orang lainnya dibebaskan dan
kembali ke Aceh setelah Jepang kalah. Mereka adalah Teungku Yahya, Keuchik
Muhammad Ali, Teungku Muhammad Ali Tineuboek, Teungku Isham Banta Panjang,
Teuku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali.
Daftar Korban
Sementara 44 orang syuhada yang
gugur dalam perang melawan Jepang di Meunasah Lheu Simpang, Pandrah pada 5 Mei
1945. Berikut adalah daftar 44 nama syuhada tersebut adalah:
1. Teungku Siti Aminah,
2.
Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah),
3. Teungku Mahmud Ben,
4.
Teungku Ismail Rahman,
5. Teungku Sabon Piah,
6. Teungku Usman Lheu,
7. Teungku
Muhammad Adam Rifin.
8. Teungku Ibrahim Yusuf,
9. Teungku Muhammad Yusuf Gagap,
10. Teungku Nyak Abu Bakar Amin,
11. Teungku Muhammad Amin,
12. Teungku Mat
Kasim,
13. Teungku Meulaboh,
14. Teungku Muhammad Hasan Banta,
15. Teungku
Suleiman Ali,
16. Teuku Nyak Isa,
17. Teungku Kasim,
18. Teungku Muhammad
Yakob,
19. Petua Jalil,
20. Teungku Muhammad Yusuf Ben Dayah,
21. Teungku Jalil
Ben.
22. Keuchik Johan,
23. Abu Keuchik Lheu,
24. Muhammad Gam,
25. Teungku
Saleh Ismail,
26. Teungku Ismail Ahmad,
27. Teungku Mahmud Bin Abdurrahman,
28.
Teungku Ahmad Itam,
29. Teungku Ibrahim Ali,
30. Nyak Umar Adam,
31. Teungku
Abdullah Ben,
32. Teungku Sulaiman Lheu,
33. Teungku Ahmad Gampong Blang,
34.
Teungku Ahmad Usman.
35. Teungku Ibrahim Yusuf,
36. Teungku Ismail Rifin,
37.
Teungku Abdullah Gampong Blang,
38. Teungku Saleh Ben Tulot,
39. Teungku
Ibrahim Husin,
40. Teungku Suud Tringgadeng,
41. Teungku Saleh Gampong Blang,
42. Teungku Nyak Zulkifli Yusuf,
43. Teungku Saleh Bin Abdurrahman,
44. Dan
syahid yang ke
44 adalah bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah.
0 komentar:
Post a Comment