Mushaf beriluminasi gaya Aceh dipamerkan di Muzium Al-Quran Melaka. |
SELAMA masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam sejak abad ke-16 M hingga abad ke-20 masehi, tidak diragukan lagi Aceh menjadi salah satu negara yang memiliki peradaban tinggi sehingga menjadi kiblat Islam di Asia Tenggara.
Aceh ketika itu menjadi pusat intelektual dan keagamaan, yang kemudian melahirkan karya-karya spektakuler berupa naskah-naskah tulisan tangan (manuscripts) atau dikenal sebagai naskah kuno. Keberadaan naskah kuno Aceh di berbagai museum dalam maupun luar negeri, yang ditulis oleh para ulama dan intelektual Aceh pada masa kesultanan dan setelahnya, menjadi bukti kemajuan ilmu pengetahuan di Aceh di masa lampau.
Sejauh menyangkut naskah Aceh ini, persentuhan tradisi tulis dengan proses islamisasi yang terjadi pada masa yang sangat awal di Aceh juga telah membentuk karakteristik dan kekhasannya, sehingga menempatkan Aceh pada level teratas di Asia Tenggara untuk beberapa abad. Ada ribuan salinan naskah, dari ratusan judul hasil karya puluhan ulama Aceh yang aktif menulis. Sebagiannya kini dapat dijumpai di wilayah asalnya, baik yang tersimpan di lembaga-lembaga kebudayaan maupun di masyarakat, dan sebagian lagi telah tersebar ke sejumlah tempat di luar Aceh, baik di dalam maupun di luar negeri
Manuskrip menjadi sangat penting karena menunjukkan peradaban suatu bangsa, sekaligus mengabadikan tapak tilas identitas masyarakatnya. Karena itu, negara yang maju dan beradab akan menelusuri karya-karya intelektualnya yang terdahulu.
Status naskah-naskah kuno di Aceh-Nusantara telah terjadi proses penyalinan besar-besaran pada awal akhir abad ke-18 akibat politik uang Eropa yang membeli (transaksi) naskah-naskah nusantara. Namun, berbeda kasus penyalinan naskah di Aceh periode tersebut, pada era yang sama kitab-kitab tersebut disalin ulang untuk disebarkan ke seluruh Aceh, dengan tujuan tertentu, khususnya naskah-naskah yang berkaitan dengan Prang Sabi dan identitas ke-Aceh-an.
Secara umum, keberadaan naskah Aceh di luar negeri diakibatkan oleh dua faktor, pertama perampasan pada masa kolonialisme dan kedua faktor bisnis (jual beli) naskah antara oknum masyarakat (kolektor) dengan pihak asing. Fenomena faktor kedua tersebut sampai sekarang masih merajalela, di mana naskah-naskah Aceh begitu mudah terbang ke luar negeri diakibatkan faktor ekonomi.
Di sisi lain, faktor situasi politik Aceh selama orde lama mengakibatkan Pemerintah Aceh mengabaikan kewajibannya untuk merawat naskah. Tanpa perhatian dan melupakan khazanah karya-karya spektakuler ulama-ulama Aceh terdahulu. Pengabaian tersebut tidak hanya dalam konservasi naskah itu sendiri, tapi juga hal-hal lain yang berkaitan dengan manuskrip, seperti restorasi, digitalisasi, katalogisasi dan juga kajian naskah.
Perlakuan naskah-naskah Aceh di luar negeri berbeda jauh dengan manuskrip di tempat asalnya. Di luar negeri, naskah tersebut mendapat perlakuan istimewa dengan perawatan yang baik, suhu cuaca, ruang penempatan hingga anti dari bencana besar seperti gempa, banjir dan tsunami. Fenomena terbalik terjadi di Aceh, di mana naskah-naskah indatu belum mendapat perhatian yang cukup dan masih tercecer di berbagai tempat tidak lazim.
Khazanah kekayaan intelektual Aceh ini kini dapat ditemui di luar negeri, dalam bentuk manuskrip, Mushaf al-Qur’an dan sarakata Aceh yang ditulis atau disalin oleh ulama dan arif (intelektual) Aceh. Kini, naskah-naskah tersebut telah menyebar di berbagai lembaga di di luar negeri.
Seorang filolog Aceh yang aktif meneliti tentang manuskrip Aceh, Hermansyah, menguraikan tentang keberadaan naskah Aceh yang tersimpan di berbagai tempat. Sepanjang penelitiannya, ia menemukan hingga saat ini ada beberapa lembaga di dalam dan luar negeri yang menyimpan manuskrip –termasuk mushaf al-Qur’an- Aceh.
Hermansyah menemukan data bahwa Belanda, selaku penghancur Kesultanan Aceh Darussalam, banyak mengoleksi naskah Aceh. Ini ditemukan di Universititeit van Amsterdam, Koninklijk Instituut vood de Tropen, keduanya di kota Amsterdam, Museum Bronbeek di Arhnem, Koninklijke Landmacht di Den Haag, Koninklijk Instituut voor Taal, Rijksmuseum voor Volkenkunde dan Universiteitsbibliotheek di Leiden.
Nama lembaga terakhir memiliki koleksi terbanyak karena menampung naskah-naskah yang pernah dikumpulkan oleh C Snouck Hurgronje dan H.T. Damste. Masih di negara yang sama, beberapa lembaga menyimpan naskah Aceh walaupun dalam skala kecil seperti di Breda, Rotterdam dan Utrecht.
Selain Belanda, negara yang kepincut dengan naskah Aceh adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Portugis dan Inggris. Di negeri jiran, menurut Hermansyah, koleksi paling banyak di Perpustakaan Negeri Malaysia (PNM), selanjutnya Dewan Bahasa dan Pustaka, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Perpustakaan Universitas Malaya (UM) dan Perpustakaan Tun Seri Lanang (PTSL). Ribuan naskah tersimpan bersama dengan karya ulama nusantara di negeri jiran ini.
British Library dan School of Oriental and African Studies di London Inggris juga mengoleksi ratusan manuskrip Aceh-Nusantara. Tentunya, jumlah tersebut tidak kalah dengan Brunei Darussalam yang mengabadikan naskah Aceh di Museum Negeri Brunai. Selain itu, Perancis, Belgia juga tercatat pernah menyimpan naskah Aceh. sedangkan di Leipzig Jerman, lembaga tersebut menyimpan naskah digital museum negeri Aceh hasil proyek pasca gempa dan tsunami di Aceh.
Selaku peneliti naskah-naskah kuno Aceh dan Melayu di IAIN Ar-Raniry, Hermansyah menemukan data terbaru selain yang tersebut tadi sebagaimana banyak diketahui orang. Ternyata ada beberapa negara yang selama ini menyimpan naskah Aceh-Nusantara sejak dahulu, di antaranya Turki, Mesir, Phatani (Thailand) dan Mindanao (Fhilipina), walaupun belum dapat diperikan seluruhnya. Kabar ini memperkuat jaringan intelektual dan hubungan bilateral Kesultanan Aceh Darussalam masa lampau.
Hermansyah memberikan contoh, karya-karya ulama Aceh Abdurrauf al-Fansuri, Nuruddin ar-Raniry, Faqih Jalaluddin, Syaikh Daud Baba dan ulama Aceh lainnya masih dibaca dan dipelajari di kepulauan Mindanao dan Phatani (Thailand Selatan) pada abad ke-19 masehi.
Di dalam negeri, karya ulama Aceh hampir seluruh provinsi mengoleksinya. Dan koleksi terbanyak di Perpustakaan Nasional di Jakarta, yang menyimpan ratusan naskah Aceh, termasuk beberapa sarakata dan mushaf Aceh. Sedangkan beberapa badan penelitian dan lembaga keagamaan di Jakarta pada dasarnya mengoleksi naskah Aceh, namun sejauh ini belum dipublikasi.
Di wilayah Padang, Sumatera Barat dan Riau banyak tersebar naskah karya ulama Aceh, baik itu disalin di Aceh maupun di Sumatera Barat sendiri. Hubungan intelektual keduanya sangat erat terjalin pada periode kesultanan hingga kemerdekaan.
Di Aceh sendiri, dari data Hermansyah, Museum Negeri Aceh (MNA) menyimpan sekitar 1.800 judul teks naskah, menyusul Zawiyah Tanoh Abee (ZTA) menyimpan lebih dari 600 naskah, seluruhnya belum didigitalisasi. Sedangkan di Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (YPAH) ada 232 judul teks, dan satu lembaga lagi yang seharusnya mengoleksi naskah, akan tetapi musnah akibat gempa-tsunami 2004, yaitu Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Sayangnya, PDIA sama sekali belum mengkatalog dan mendigitalisasi naskah sebagai arsip dan dokumentasi. Hingga kini tidak akan ditemui naskah-naskah berharga tersebut.
Sedangkan kolektor pribadi di Aceh pun banyak mengoleksi naskah, walau belum terdata dengan baik. Terutama beberapa tempat pusat skriptorium naskah seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara. Padahal di tangan mereka jumlah naskah mencapai ratusan buah. Sayangnya dana perawatan yang minim dan pengetahuan konservasi naskah yang nihil berakibat pada fisik naskah semakin hancur oleh serangga kertas ataupun keasaman tinta.
Harapan Hermansyah, supaya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap konservasi, restorasi hingga digitalisasi naskah di tangan masyarakat, sehingga dapat diwariskan ke generasi selanjutnya.
Saat ditanyai tentang upaya pemerintah untuk menyelamatkan naskah-naskah Aceh, Hermansyah mengatakan sampai saat ini pemerintah belum menginventarisir keberadaan naskah-naskah Aceh dan tidak objektif dalam memperhatikan naskah. Hal ini juga dipersulit dengan kondisi masyarakat yang kurang percaya dengan pemerintah sendiri untuk merawat naskah-naskah tulisan ulama Aceh tempo dulu. Di samping itu, masyarakat yang masih menyimpan naskah-naskah Aceh lebih memilih untuk dijual kepada pihak asing karena harganya lebih mahal.
Lebih lanjut, Hermansyah menambahkan, beberapa provinsi di Indonesia kini pemerintah daerahnya telah bekerja sama dengan pemilik, pewaris dan kolektor pribadi naskah dengan menjadikan status mereka sebagai pegawai negeri untuk pelestarian manuskrip. Alasannya, posisi mereka tidak berbeda dengan staf museum, badan arsip ataupun perpustakaan yang mengurusi dokumen-dokumen lama. Bagi yang telah pegawai, maka diberikan beasiswa kepada anaknya kuliah di bidang kajian naskah (filologi) sehingga ke depan ia mampu meneliti warisan leluhurnya. Dengan demikian, secara tidak langsung pemerintah telah menghentikan jual-beli naskah ke luar negeri dengan alasan perekonomian.
Hermansyah berharap agar pemerintah Aceh untuk menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya naskah-naskah kuno Aceh agar masyarakat dapat merawat dan tidak dijual kepada pihak asing walaupun dibeli dengan harga yang sangat mahal. Langkah lainnya yang harus ditempuh pemerintah adalah dapat meyakinkan masyarakat Aceh dengan menunjukkan kinerja dan kesungguhan dalam mengurus naskah indatu, sehingga tidak muncul antipati terhadap pemerintah. Dengan demikian, pemerintah dinilai sudah “baligh” dan mampu mengurusi diri dan warisannya sendiri. [Muzakkir/acehindependent]
Aceh ketika itu menjadi pusat intelektual dan keagamaan, yang kemudian melahirkan karya-karya spektakuler berupa naskah-naskah tulisan tangan (manuscripts) atau dikenal sebagai naskah kuno. Keberadaan naskah kuno Aceh di berbagai museum dalam maupun luar negeri, yang ditulis oleh para ulama dan intelektual Aceh pada masa kesultanan dan setelahnya, menjadi bukti kemajuan ilmu pengetahuan di Aceh di masa lampau.
Sejauh menyangkut naskah Aceh ini, persentuhan tradisi tulis dengan proses islamisasi yang terjadi pada masa yang sangat awal di Aceh juga telah membentuk karakteristik dan kekhasannya, sehingga menempatkan Aceh pada level teratas di Asia Tenggara untuk beberapa abad. Ada ribuan salinan naskah, dari ratusan judul hasil karya puluhan ulama Aceh yang aktif menulis. Sebagiannya kini dapat dijumpai di wilayah asalnya, baik yang tersimpan di lembaga-lembaga kebudayaan maupun di masyarakat, dan sebagian lagi telah tersebar ke sejumlah tempat di luar Aceh, baik di dalam maupun di luar negeri
Manuskrip menjadi sangat penting karena menunjukkan peradaban suatu bangsa, sekaligus mengabadikan tapak tilas identitas masyarakatnya. Karena itu, negara yang maju dan beradab akan menelusuri karya-karya intelektualnya yang terdahulu.
Status naskah-naskah kuno di Aceh-Nusantara telah terjadi proses penyalinan besar-besaran pada awal akhir abad ke-18 akibat politik uang Eropa yang membeli (transaksi) naskah-naskah nusantara. Namun, berbeda kasus penyalinan naskah di Aceh periode tersebut, pada era yang sama kitab-kitab tersebut disalin ulang untuk disebarkan ke seluruh Aceh, dengan tujuan tertentu, khususnya naskah-naskah yang berkaitan dengan Prang Sabi dan identitas ke-Aceh-an.
Secara umum, keberadaan naskah Aceh di luar negeri diakibatkan oleh dua faktor, pertama perampasan pada masa kolonialisme dan kedua faktor bisnis (jual beli) naskah antara oknum masyarakat (kolektor) dengan pihak asing. Fenomena faktor kedua tersebut sampai sekarang masih merajalela, di mana naskah-naskah Aceh begitu mudah terbang ke luar negeri diakibatkan faktor ekonomi.
Di sisi lain, faktor situasi politik Aceh selama orde lama mengakibatkan Pemerintah Aceh mengabaikan kewajibannya untuk merawat naskah. Tanpa perhatian dan melupakan khazanah karya-karya spektakuler ulama-ulama Aceh terdahulu. Pengabaian tersebut tidak hanya dalam konservasi naskah itu sendiri, tapi juga hal-hal lain yang berkaitan dengan manuskrip, seperti restorasi, digitalisasi, katalogisasi dan juga kajian naskah.
Perlakuan naskah-naskah Aceh di luar negeri berbeda jauh dengan manuskrip di tempat asalnya. Di luar negeri, naskah tersebut mendapat perlakuan istimewa dengan perawatan yang baik, suhu cuaca, ruang penempatan hingga anti dari bencana besar seperti gempa, banjir dan tsunami. Fenomena terbalik terjadi di Aceh, di mana naskah-naskah indatu belum mendapat perhatian yang cukup dan masih tercecer di berbagai tempat tidak lazim.
Khazanah kekayaan intelektual Aceh ini kini dapat ditemui di luar negeri, dalam bentuk manuskrip, Mushaf al-Qur’an dan sarakata Aceh yang ditulis atau disalin oleh ulama dan arif (intelektual) Aceh. Kini, naskah-naskah tersebut telah menyebar di berbagai lembaga di di luar negeri.
Seorang filolog Aceh yang aktif meneliti tentang manuskrip Aceh, Hermansyah, menguraikan tentang keberadaan naskah Aceh yang tersimpan di berbagai tempat. Sepanjang penelitiannya, ia menemukan hingga saat ini ada beberapa lembaga di dalam dan luar negeri yang menyimpan manuskrip –termasuk mushaf al-Qur’an- Aceh.
Hermansyah menemukan data bahwa Belanda, selaku penghancur Kesultanan Aceh Darussalam, banyak mengoleksi naskah Aceh. Ini ditemukan di Universititeit van Amsterdam, Koninklijk Instituut vood de Tropen, keduanya di kota Amsterdam, Museum Bronbeek di Arhnem, Koninklijke Landmacht di Den Haag, Koninklijk Instituut voor Taal, Rijksmuseum voor Volkenkunde dan Universiteitsbibliotheek di Leiden.
Nama lembaga terakhir memiliki koleksi terbanyak karena menampung naskah-naskah yang pernah dikumpulkan oleh C Snouck Hurgronje dan H.T. Damste. Masih di negara yang sama, beberapa lembaga menyimpan naskah Aceh walaupun dalam skala kecil seperti di Breda, Rotterdam dan Utrecht.
Selain Belanda, negara yang kepincut dengan naskah Aceh adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Portugis dan Inggris. Di negeri jiran, menurut Hermansyah, koleksi paling banyak di Perpustakaan Negeri Malaysia (PNM), selanjutnya Dewan Bahasa dan Pustaka, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Perpustakaan Universitas Malaya (UM) dan Perpustakaan Tun Seri Lanang (PTSL). Ribuan naskah tersimpan bersama dengan karya ulama nusantara di negeri jiran ini.
British Library dan School of Oriental and African Studies di London Inggris juga mengoleksi ratusan manuskrip Aceh-Nusantara. Tentunya, jumlah tersebut tidak kalah dengan Brunei Darussalam yang mengabadikan naskah Aceh di Museum Negeri Brunai. Selain itu, Perancis, Belgia juga tercatat pernah menyimpan naskah Aceh. sedangkan di Leipzig Jerman, lembaga tersebut menyimpan naskah digital museum negeri Aceh hasil proyek pasca gempa dan tsunami di Aceh.
Selaku peneliti naskah-naskah kuno Aceh dan Melayu di IAIN Ar-Raniry, Hermansyah menemukan data terbaru selain yang tersebut tadi sebagaimana banyak diketahui orang. Ternyata ada beberapa negara yang selama ini menyimpan naskah Aceh-Nusantara sejak dahulu, di antaranya Turki, Mesir, Phatani (Thailand) dan Mindanao (Fhilipina), walaupun belum dapat diperikan seluruhnya. Kabar ini memperkuat jaringan intelektual dan hubungan bilateral Kesultanan Aceh Darussalam masa lampau.
Hermansyah memberikan contoh, karya-karya ulama Aceh Abdurrauf al-Fansuri, Nuruddin ar-Raniry, Faqih Jalaluddin, Syaikh Daud Baba dan ulama Aceh lainnya masih dibaca dan dipelajari di kepulauan Mindanao dan Phatani (Thailand Selatan) pada abad ke-19 masehi.
Di dalam negeri, karya ulama Aceh hampir seluruh provinsi mengoleksinya. Dan koleksi terbanyak di Perpustakaan Nasional di Jakarta, yang menyimpan ratusan naskah Aceh, termasuk beberapa sarakata dan mushaf Aceh. Sedangkan beberapa badan penelitian dan lembaga keagamaan di Jakarta pada dasarnya mengoleksi naskah Aceh, namun sejauh ini belum dipublikasi.
Di wilayah Padang, Sumatera Barat dan Riau banyak tersebar naskah karya ulama Aceh, baik itu disalin di Aceh maupun di Sumatera Barat sendiri. Hubungan intelektual keduanya sangat erat terjalin pada periode kesultanan hingga kemerdekaan.
Di Aceh sendiri, dari data Hermansyah, Museum Negeri Aceh (MNA) menyimpan sekitar 1.800 judul teks naskah, menyusul Zawiyah Tanoh Abee (ZTA) menyimpan lebih dari 600 naskah, seluruhnya belum didigitalisasi. Sedangkan di Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (YPAH) ada 232 judul teks, dan satu lembaga lagi yang seharusnya mengoleksi naskah, akan tetapi musnah akibat gempa-tsunami 2004, yaitu Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Sayangnya, PDIA sama sekali belum mengkatalog dan mendigitalisasi naskah sebagai arsip dan dokumentasi. Hingga kini tidak akan ditemui naskah-naskah berharga tersebut.
Sedangkan kolektor pribadi di Aceh pun banyak mengoleksi naskah, walau belum terdata dengan baik. Terutama beberapa tempat pusat skriptorium naskah seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara. Padahal di tangan mereka jumlah naskah mencapai ratusan buah. Sayangnya dana perawatan yang minim dan pengetahuan konservasi naskah yang nihil berakibat pada fisik naskah semakin hancur oleh serangga kertas ataupun keasaman tinta.
Harapan Hermansyah, supaya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap konservasi, restorasi hingga digitalisasi naskah di tangan masyarakat, sehingga dapat diwariskan ke generasi selanjutnya.
Saat ditanyai tentang upaya pemerintah untuk menyelamatkan naskah-naskah Aceh, Hermansyah mengatakan sampai saat ini pemerintah belum menginventarisir keberadaan naskah-naskah Aceh dan tidak objektif dalam memperhatikan naskah. Hal ini juga dipersulit dengan kondisi masyarakat yang kurang percaya dengan pemerintah sendiri untuk merawat naskah-naskah tulisan ulama Aceh tempo dulu. Di samping itu, masyarakat yang masih menyimpan naskah-naskah Aceh lebih memilih untuk dijual kepada pihak asing karena harganya lebih mahal.
Lebih lanjut, Hermansyah menambahkan, beberapa provinsi di Indonesia kini pemerintah daerahnya telah bekerja sama dengan pemilik, pewaris dan kolektor pribadi naskah dengan menjadikan status mereka sebagai pegawai negeri untuk pelestarian manuskrip. Alasannya, posisi mereka tidak berbeda dengan staf museum, badan arsip ataupun perpustakaan yang mengurusi dokumen-dokumen lama. Bagi yang telah pegawai, maka diberikan beasiswa kepada anaknya kuliah di bidang kajian naskah (filologi) sehingga ke depan ia mampu meneliti warisan leluhurnya. Dengan demikian, secara tidak langsung pemerintah telah menghentikan jual-beli naskah ke luar negeri dengan alasan perekonomian.
Hermansyah berharap agar pemerintah Aceh untuk menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya naskah-naskah kuno Aceh agar masyarakat dapat merawat dan tidak dijual kepada pihak asing walaupun dibeli dengan harga yang sangat mahal. Langkah lainnya yang harus ditempuh pemerintah adalah dapat meyakinkan masyarakat Aceh dengan menunjukkan kinerja dan kesungguhan dalam mengurus naskah indatu, sehingga tidak muncul antipati terhadap pemerintah. Dengan demikian, pemerintah dinilai sudah “baligh” dan mampu mengurusi diri dan warisannya sendiri. [Muzakkir/acehindependent]
0 komentar:
Post a Comment