1. Riwayat Hidup
Aceh
dikenal telah melahirkan banyak pahlawan wanita. Tercatat ada nama Cut
Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Aisyah, Pocut Meurah Intan,
Pocut Biheu, Cutpo Fatimah, Teungku Fakinah, Pocut Baren, dan masih
banyak lagi. Pocut Baren yang menjadi bahasan tulisan ini merupakan
wanita bangsawan yang lahir pada tahun 1880 di Tungkop, Kabupaten Aceh
Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Ia adalah putri
Teuku Cut Amat, Uleebalang (tokoh adat) Tungkop yang sangat berpengaruh.
Oleh karena ayahnya adalah seorang uleebalang,
maka banyak ulama yang datang ke kediaman ayahnya untuk mendiskusikan
masalah-masalah keagamaan. Kondisi demikian memudahkan Pocut Baren
mendapatkan pendidikan agama (Islam) secara langsung dari ulama-ulama
tersebut. Pendidikan agama mampu menanamkan jiwa dan kepribadian Pocut
Baren menjadi seorang wanita muda yang berani berkorban apa saja demi
tegaknya kepentingan agama dan bangsanya. Selain modal pendidikan
agama, kondisi politik pada saat itu juga membentuk kepribadiannya
menjadi lebih dewasa lagi. Sebagaimana pada umumnya gadis-gadis Aceh
seusianya, ia dilahirkan dalam suasana konflik (perang). Ia ikut
berjuang menghadapi kolonialisme Belanda di bumi Aceh.
Setelah menginjak usia dewasa, Pocut Baren menikah dengan seorang pejabat daerah (keujruen) yang juga menjadi uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Suaminya pernah memimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda yang menyerang di kawasan Woyla.
Perjuangan
Pocut Baren melawan penjajah Belanda dimulai sejak berjuang bersama
dengan Cut Nyak Dhien. Pocut Baren menunjukkan kesetiannya berjuang
bersama dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam berperang secara bersama
melawan penjajah Belanda maupun dalam pengembaraannya dari satu tempat
ke tempat yang lain. Perjuangan tersebut dilakoninya dengan penuh
kesungguhan dan kesabaran meski dalam kondisi hidup yang susah dan
menderita. Modal perjuangan bersama dengan Cut Nyak Dhien ternyata
berpengaruh besar dalam membangkitkan keberanian dirinya berjuang lebih
lanjut. Bahkan, suatu saat ia memimpin pasukannya sendirian.
Menurut
catatan seorang penulis asal Belanda bernama Doup, Pocut Baren telah
melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun
1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada
tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian
pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif
berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah
Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan
Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren. Kedua tokoh pejuang
wanita ini dikenal mempunyai tekad dan keberanian yang kuat dalam
mempertahankan Aceh sebagai negeri yang merdeka dari segala bentuk
kolonialisme, termasuk kolonialisme Belanda.
Pocut
Baren pernah berjuang bersama dengan suaminya melawan penjajah
Belanda. Ketika berjuang, ia sebenarnya sadar bahwa dirinya dan
suaminya akan terancam maut oleh setiap serangan musuh yang terkenal
mempunyai teknologi dan peralatan perang yang amat canggih. Namun,
dengan semangat perjuangan yang kuat maka segala tantangan dan ancaman
pasti akan dapat dihalau. Ia dan suaminya sudah rela mati syahid demi
kedaulatan tanah Aceh dari serangan musuh. Ia pun sadar bahwa suaminya
kelak akan mendahului dirinya. Karena sebagai pemimpin pasukan,
suaminya dapat terancam kapan saja oleh peluru-peluru musuh.
Ibarat
pepatah “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih”, suami
Pocut Baren akhirnya meninggal dunia di medan perang. Hal itu terjadi
ketika Pocut Baren bersama suaminya berjuang melawan pasukan Belanda di
wilayah Keujren Game, Kabupaten Aceh Barat. Pasukan Belanda yang telah
diperkuat dengan personil militer yang sangat besar mampu memukul
mundur pasukan Aceh yang memang sedang dalam posisi yang lemah. Ketika
itu dengan beruntung Pocut Baren berhasil meloloskan diri dari kepungan
pasukan Belanda. Meski ia sedih dengan kematian suaminya, namun ia
tetap bertekad meneruskan perjuangan suaminya tersebut.
Meski
Pocut Baren harus berjuang sendirian, namun ia tetap gigih berjuang,
tidak merasa minder, dan semangatnya sama sekali tidak hilang. Ia
menghimpun kembali kekuatan pasukannya dengan cara memobilisasi
penduduk di wilayah Kaway XII. Ia mengumpulkan kembali sisa-sisa
pasukannya yang masih ada untuk meneruskan perjuangan yang telah lama
dilakukannya. Di sisi yang lain, Belanda yang memang telah mempunyai
kekuatan perang sangat besar justru makin diperkuat dengan bantuan
militer, yang salah satunya berasal dari batavia (Betawi).
Di
samping melakukan mobilisasi, Pocut Baren membangun benteng di Gunung
Macan sebagai pusat pertahanan dari serangan musuh. Melalui benteng
ini, segala rencana penyerangan terhadap pasukan musuh disusun dengan
strategi yang sangat rapi. Di sisi lain, Belanda tidak mau kalah.
Mereka membangun tangsi secara besar-besaran di Kuala Bhee dan Tanoh
Mirah. Dari kedua tempat inilah, Belanda melancarkan serangan kepada
pasukan Pocut Baren.
Dari
pusat pertahanannya di Gunung Macan tersebut, Pocut Baren lebih banyak
melangsungkan serangan terhadap tangsi-tangsi Belanda, di Kuala Bhee
dan Tanoh Mirah. Pasukan Belanda sendiri tidak berani langsung
menyerang pasukan Pocut Baren di Gunung Macam karena pertahanannya yang
sangat kuat. Meski demikian, pasukan Pocut Baren belum mampu membuat
pasukan Belanda menyerah atau hengkang dari tanah Aceh. Hal itu
disebabkan karena modal persenjataan pasukan Pocut Baren masih sangat
terbatas.
Pada
tahun 1910, Belanda melakukan penyerbuan secara besar-besaran terhadap
benteng pertahanan Pocut Baren di Gunung Macan. Pasukan Belanda ketika
itu dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers. Dengan seketika, Benteng
Pocut Baren digempur secara habis-habisan. Pocut Baren tidak merasa
takut dengan serangan tersebut. Ia memimpin pasukannya dengan maksud
untuk mempertahankan benteng tersebut. Namun, ternyata ia tertembak
dalam pertempuran tersebut dengan luka yang sangat parah. Ia akhirnya
dapat tertangkap oleh pasukan Belanda secara hidup-hidup, dan kemudian
dibawa ke Meulaboh.
Tertangkapnya
Pocut Baren menandai masa berakhirnya perlawanan dirinya terhadap
Belanda. Untuk proses pengobatan lukanya tersebut, ia kemudian dibawa
ke Kutaraja. Karena lukanya yang sudah sedemikian parah, maka tim
dokter memutuskan untuk melakukan amputasi, yaitu memotong kedua belah
kakinya. Meski demikian, ia tetap tegar menerima kenyataan dan cobaan
yang tengah dihadapinya.
Selama di Kutaraja, Pocut Baren diperlakukan sebagai tawanan perang dan juga sebagai seorang uleebalang.
Ketika Gubernur Militer Aceh dipegang oleh Van Daalen, ada rencana
dari gubernur itu untuk mengasingkan Pocut Baren ke Pulau Jawa. Ada
seorang perwira penghubung bangsa Belanda, T.J. Veltman menyarankan
kepada gubernur agar Pocut Baren tidak diasingkan, tapi dikembalikan ke
kampung halamannya sebagai uleebalang di Tungkop. Dengan
strategi ini diharapkan perlawanan rakyat Aceh dapat dihentikan.
Gubernur Van Daalen menyetujui saran tersebut.
Setelah
Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini tidak akan
melakukan perlawanan lagi, maka ia akhirnya kembali ke kampung
halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang. Di samping sebagai uleebalang,
ia juga aktif menggerakkan kehidupan rakyatnya ke arah yang lebih
baik, seperti melakukan perbaikan ekonomi rakyat dan menumbuhkan
kesadaran akan pentingnya sastra dalam kehidupan ini. Perjuangan
tersebut dilakukan hingga ia meninggal dunia pada tahun 1933.
2. Pemikiran
Pocut
Baren, selain dikenal sebagai pejuang wanita Aceh yang sejati, juga
dikenal memiliki pemikiran dan gagasan yang menarik. Berikut ini
dikemukakan dua bidang pemikirannya.
2. 1. Pemikiran Ekonomi
Selama
masa penjajahan Belanda, perekonomian rakyat Aceh mengalami banyak
kemunduran. Banyak sawah yang terbengkalai dan akhirnya menjadi lahan
tidur karena sebagian besar penduduk ikut terlibat dalam perang melawan
penjajah. Hal ini mengakibatkan munculnya kemiskinan dan kelaparan
yang menimpa masyarakat. Pocut Baren kemudian berpikir bagaimana
caranya mengembalikan kondisi perekonomian rakyat di Tungkop. Sebagai uleebalang,
ia memimpin rakyat di daerah tersebut agar menghidupkan kembali
lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap.
Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala,
kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya.
Dalam
bidang perairan, Pocut Baren menggerakkan rakyatnya untuk membangun
saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah
penduduk. Proses pengairan dilakukan secara bergilir agar tidak
menimbulkan konflik di antara para penduduk.
Ada
ide Pocut Baren yang menarik tentang pertanian. Ia menyarankan kepada
para penduduk agar menanam padi secara serentak dengan tujuan agar
siklus kehidupan hama dapat terputus. Agar hasil panen yang didapat
para petani menjadi lebih baik, ia memperkenalkan sistem Panca Usaha
Tani kepada penduduk. Sistem ini mencakup: (a). Melakukan pengolahan
tanah secara baik dan benar; (b). Menyemaikan bibit padi secara benar:
(c). Melakukan pemberantasan hama dengan memanfaatkan predator (hewan
yang memangsa hewan yang lain); (d). Memberikan pupuk dengan dosis yang
tepat, yaitu pupuk kandang dan pupuk organik (kompos); dan (e).
Mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan tanaman padi.
Berkat
kerja keras Pocut Baren terhadap pengembangan perekonomian rakyat,
secara berangsur-angsur kehidupan rakyat semakin membaik. Perekonomian
rakyat tidak lesu lagi. Ketika itu Tungkop berkembang menjadi daerah
yang aman, tenteram, dan makmur. Bahkan, ketika musim panen tiba,
daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya
dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain.
Kesuksesan
Pocut Baren itu ternyata disikapi secara gembira oleh Pemerintah
Belanda yang membawahi Tungkop. Laporan Letnan H. Schuerleer, Komandan
Bivak Tanoh Mirah, kepada atasannya di Kutaraja menyebutkan bahwa Pocut
Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menciptakan
ketertiban, keamanan, dan kemakmuran masyarakat. Sebagai wujud rasa
terima kasih, T.J. Veltman memberi hadiah kepada Pocut Baren berupa
sebuah kaki palsu yang terbuat dari kayu.
2. 2. Pemikiran Kesusastraan
Pocut
Baren ternyata memiliki bakat kesusastraan Aceh. Keahliannya dalam
bidang sastra muncul karena ia sering menyempatkan diri ketika
beristirahat untuk merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah
berlalu. Di saat seperti itulah darah pujangganya mengalir deras. Apa
yang jadi kenangan-kenangan dirinya ia ekspresikan dalam bentuk pantun
dan syair. Ketika itu syair-syairnya sering dibacakan banyak orang di
depan publik.
Pocut Baren telah menulis banyak pantun dan syair, baik dalam bahasa Aceh maupun huruf Melayu Arab (Jawi).
Bahkan, karya-karya sastranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Banyak orang yang hingga kini masih melantunkan syair-syairnya karena
memang begitu indah dan menggugah. Salah satu contoh syairnya dalam
bahasa Aceh adalah sebagai berikut:
Le Krueng Woyla ceukoe likat (Sungai Woyla keruh pekat)
Engkot jilumpat jisangka ie tuba (Ikan melompat dikira tuba)
Seunggap di yub seungap di rambut (Sunyi di kolong senyap di rambut)
Meurubok Barat buka suara (Hari malam buka suara)
Engkot jilumpat jisangka ie tuba (Ikan melompat dikira tuba)
Seunggap di yub seungap di rambut (Sunyi di kolong senyap di rambut)
Meurubok Barat buka suara (Hari malam buka suara)
Bukon Sayang itek di kapay (Wahai sayang itik di kapal)
Jitimoh bulee ka si on sapeue (Bulunya tumbuh aneka warna)
Bukon sayang bilek ku tinggay (Tinggallah engkau bilikku sayang)
Teumpat ku tido siang dan malam (Tempat peraduanku siang dan malam)
Jitimoh bulee ka si on sapeue (Bulunya tumbuh aneka warna)
Bukon sayang bilek ku tinggay (Tinggallah engkau bilikku sayang)
Teumpat ku tido siang dan malam (Tempat peraduanku siang dan malam)
3. Karya
Karya
Pocut Baren bukan dalam bentuk tulisan, seperti buku, artikel, dan
sebagainya. Segala bentuk pemikiran dan perjuangannya dalam menghadapi
kolonialisme Belanda dapat kita katakan sebagai hasil karya-karya
besarnya yang patut diapresiasi.
4. Penghargaan
Sebagai
bentuk penghargaan terhadap Pocut Baren, Yuslizar, seorang seniman
Aceh, mendirikan sanggar tari Pocut Baren pada tahun 1967. Nama Pocut
baren juga diabadikan sebagai nama sejumlah jalan di wilayah Nanggroe
Aceh Darussalam.
(HS/tkh/32/11-07).
Sumber:
- Abdurrahman, G. dkk. 2002. Biografi-Biografi Pejuang Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
- “Pahlawan Aceh: Pocut Baren”, dalam http://www.nad.go.id/index2.php?option=isi&do_pdf=1&id=2799, diakses tanggal 12 Desember 2007.
- melayuonline.com
No comments:
Post a Comment