Biografi
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Ulama Aceh Terkenal. Nama
lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i
Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut Al-Raniri). la
dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat,
sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar
akhir abad ke-16 di kota Rani, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada
tahun 1637, ia datang ke aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di
sana hingga tahun 1644. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya
berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas: 1199 M). Ia adalah ulama
penasehat di kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani
(Iskandar II).
Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan
Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya
adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy).
Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang
yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al-As'adi
Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).
Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota
pelabuhan yang lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran)
dari berbagal penjuru dunia.
Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia
Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas
bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga
berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian
berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan
Hindia untuk keperluan yang sama.
Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar
merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah
seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika
pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh
(1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh,
ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau)
biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah
kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).
Nuruddin al-Raniri tiba di Aceh pada hari Ahad 6 Muharram
1047 H, bertepatan dengan tanggal 31 mei 1637 M mengikuti jejak pamannya
sebelumnya mengunjungi dan menetap di Aceh bernama Muhammad Jailani bin Hasan
bin Muhammad Hamid al-Raniri yang datang ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan
Alaidin Mansur Syah dari Perak (1577-1586).
Pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri berada di Kutaradja
(Aceh) dan menetap selama tujuh tahun dari masa pemerintahan Sultan Iskandar
Tsani (1636-1641) yang masih memiliki keturunan putra sultan Pahang yaitu
menantu Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin Syah istri Sultan
Iskandar Tsani dan putri Sultan Iskandar Muda.
Sebagai ahli bidang syariat dan teolog, Nuruddin al-Raniri
juga dikenal sebagai seorang syaikh dalam Tarekat Qadariyah dan Rifa’iyyah. Ia
belajar kepada Syeikh Abu Hafs 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau dikenal
dengan Saiyid 'Umar al-'Aidrus Ba Syaiban (970-1030 H), kepada ulama ini beliau
mengambil bai'at Thariqat Rifa'iyah. Al-Raniri ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai
khalifah dalam Tarekat Rifa’iyyah dan bertanggung jawab untuk penyebarannya di
wilayah Melayu-Indonesia.
Ide pemikiran dan fatwa Nuruddin al-Raniri dituangkan dalam
kitab-kitab karyanya mayoritas bersifat polemis dan sampai pada batas
apologetis, ada sekitar 31 kitab (mungkin lebih) yang ditulis olehnya dan
sebagian besarnya tentang fatwa pertentangan doktrin mistiko-filosofis
Wujudiyyah yang telah berkembang turun temurun pada pengikut Wujudiyyah di Aceh
yang dianggapnya sesat (heretical) dan menyimpang (heterodox).
Ilmu Yang Dikuasainya
Ar Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf,
qalam, fiqih, hadits, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia
menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanul
Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama
(IAIN) di Banda Aceh.
Judul kitab-kitabnya
Diantara judul kitab-kitabnya:
Kitab Al-Shirath
al-Mustaqim (1634)
Kitab Durrat
al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
Kitab Hidayat
al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635) ?
Kitab Bustanus
al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
Kitab Nubdzah fi
da’wa al-zhill ma’a shahibihi
Kitab Latha’if
al-Asrar
Kitab Asral
an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
Kitab Tibyan fi
ma’rifat al-Adyan
Kitab Akhbar
al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
Kitab Hill
al-Zhill
Kitab Ma’u’l Hayat
li Ahl al-Mamat
Kitab Aina’l-‘Alam
qabl an Yukhlaq
Kitab
Syifa’u’l-Qulub
Kitab Hujjat
al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
Kitab
Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
Kitab Al-Lama’an
fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
Kitab Shawarim al-
Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
Kitab Rahiq
al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
Kitab Ba’du Khalg
al-samawat wa’l-Ardh
Kitab Kaifiyat
al-Shalat
Kitab Hidayat
al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
Kitab ‘Aqa’id
al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
Kitab ‘Alaqat
Allah bi’l-‘Alam
Kitab
Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
Kitab ‘Ain
al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
Kitab Awdhah
al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
Kitab Awdhah
al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
Kitab Syadar
al-Mazid
Kitab Jawahir
al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
Kiprah Nuruddin al-Raniry di Aceh tidak lebih dari tujuh
tahun lamanya, sebagai alim, mufti dan penulis produktif ia telah memberi
perhatian mendalam guna menentang doktrin Wujudiyyah dan mengembalikan
kemurnian Islam baik secara dialog maupun represif. Hingga pada tahun 1644,
beliau secara tiba-tiba meninggalkan Aceh menuju kota kelahirannya di India
yaitu Ranir, diketahui melalui tulisan muridnya dalam kolofon kitab Jawahir
al-‘Ulum fi Kasfy al-Ma’lum yang menyatakan bahwa ia berlayar ke tanah airnya
Ranir pada tahun 1054 H, dan menyuruh salah seorang muridnya untuk
menyelesaikannya.
Gurunya
Beliau di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafis
Abdullah Basyeiban yang yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus
kerna adalah khalifah Tariqah Al-Idrus Alawi di India. Ar-Raniri juga telah
menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qadariyah dari gurunya.
Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang
datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah menikah setelah berhijrah ke
Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan
Gunung Jati.
Jejak-jejak Intelektual Al-Raniri
Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan
belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim,
Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam.
Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk
menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah
Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah
menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.
Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat
dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya
dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi
awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.
Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang
syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia
belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said
Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat
dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar
tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar
b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M),
dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri
dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah
di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga
memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah
Maqassari: tt).
Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di
Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah
Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada
tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui
secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan
ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan,
kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan
posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, M). Adapun kemungkinan lainnya,
Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b. Muhammad
Hamid (1588 M).
Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula
kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu.
Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana
ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh
pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu
disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan
kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan
hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M).
Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya
Al-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan
penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia
melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat
dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang
berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani.
Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara
Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang
mendapat simpati dari Sultan
Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul
pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya.
Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda,
memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan menjadikannya mufti
kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham
wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa
dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh
sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu,
Al-Raniri juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab
agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham
wujudiyyah di Aceh.
Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang
cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri
mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna
membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri
dan para ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham
wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan
penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme
ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan
sultan.
Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya
keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk
bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun,
kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab
para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga
akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu,
untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya
Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644
Al-Raniri tiba-tiba kembali ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke
Aceh. Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab
kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk
menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak ini
menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari. Pertama, sebagaimana diungkapkan
oleh A. Daudy dalam bukunya, Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke
tanah leluhurnya karena ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat
al-Din yang berencana menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang
diperintah oleh seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn
tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang
dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa. A. Daudy
memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut.
Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22
Agustus 1643 dilaporkan, bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena
perdebatan antara dirinya dengan ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf
Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena Al-Raniri selalu menilai
pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk paham
wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi
saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.
Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran.
Pasalnya, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang
Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas
dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum
keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan
Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih
besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh.
Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan
kehidupan tradisional Islam Indonesia.
Banyak perkara menarik mengenai ulama ini, di antaranya
kitab fikah dalam bahasa Melayu yang pertama sekali berjudul ash-Shirath
al-Mustaqim adalah karya beliau. Demikian juga mengenai kitab hadis yang
berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau judul lainnya
Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib, adalah kitab membicarkan hadis yang
pertama sekali dalam bahasa Melayu.
Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin
ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau
ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke India. Tetapi salah
seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang digelarkan dengan
Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu 'Abdullah dalam
karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin menyebut bahawa Syeikh Nuruddin
ar-Raniri adalah "Raniri negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakri
bangsanya."
Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat
kelahirannya Raniri atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan
berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat lain mengatakan dekat Bikanir,
kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri berhasil berangkat ke
Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau sempat belajar
kepada Syeikh Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau nama lain ulama
ini ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus. Kepada ulama ini beliau mengambil bai'ah
Thariqat Rifa'iyah. Dalam sektor Thariqat Rifa'iyah itu syeikh yang tersebut
adalah murid kepada Syeikh Muhammad al-'Aidrus. Selain Thariqat Rifa'iyah,
Syeikh Nuruddin ar-Raniri juga pengamal Thariqat Qadiriyah.
Kedatangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke
Aceh diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat
bahawa beliau sampai di Aceh pada tahun 1637 M. Ini bererti setahun setelah
mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah dari tahun 1606 M hingga 1636 M).
Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan pembawa satu pendapat baru,
yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu yang baru selalu menjadi
perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak kawan atau pun pihak lawan.
Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman
anti atau penolakan tasawuf ajaran model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatra-i. Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut
pandangan beliau.
Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan
Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan
Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.
Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh
Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam,
mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan
Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang
tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat sokongan sepenuhnya
daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu
Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah
penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab
yang lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab
Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan
Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah
pengikut tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah.
Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menghentam
habis-habisan
Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i.
Walau bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan
menyokong Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim
al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan yang bercorak
'syathahiyat' yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang tersebut itu tidak
pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan yang bercorak 'syathahiyat'
yang berasal daripada Syeikh Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin
as-Sumatra-i selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Di
dalam karyanya Fath al-Mubin 'ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri
berpendapat bahawa al-Hallaj mati syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun
syahid fi sabilillah jua." Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i itu pegangannya tidak ubah
dengan al-Hallaj.
Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin
as-Sumatra-i berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi
Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili dalam satu sektor. Dan bahagian
lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi
dan lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul menurut pandangan ahli tasawuf.
Bahawa ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah mesra
dari hujung rambut hingga ke hujung kaki, dari kulit hingga daging, dari tulang
hingga ke sumsum pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan
tentangan yang spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa
saja yang berani menyalah-nyalahkan pegangan mereka. Pengikut-pengikut Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i menganggap kedua-dua guru
mereka adalah wali Allah, yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat,
haqiqat dan makrifat. Mereka beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh
Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah
mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin
ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir belaka. Bahawa beliau hanyalah mengetahui
kulit ilmu tasawuf, tetap tidak sampai kepada intipati tasawuf yang
sebenar-benarnya. Bahawa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka,
tetapi belum mempunyai ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yang
bermanfaat. Oleh itu, wajiblah mereka membela guru mereka yang mereka sanjung
tinggi itu.
Selama menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke
Aceh, ramai penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar
yang berasal dari India itu, namun sampai riwayat ini saya tulis, belum
dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama murid-murid Syeikh Nuruddin ar-Raniri.
Untuk memulakan penjejakan mengenainya di sini dapat saya perkenalkan hanya dua
orang, iaitu: Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal
dari Makasar/tanah Bugis. Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati
ini belajar kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau
pun Syeikh Yusuf datang menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India.
Sementara pendapat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar
dapat berguru kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih di Aceh lagi, dan
Syeikh Yusuf Tajul Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh
Nuruddin ar-Raniri. Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini
berasal dari Aceh.
Pengaruh Al-Raniri
Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok
ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli
hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering
menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek
pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang
sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah
seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh
karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek
pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya (Azra: 1994).
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama.
di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri
dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa
tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam
tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih
dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata
rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan
penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini
memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah
Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam
penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para
pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih
lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin
Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan
dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar
yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi
antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah
merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri
berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah),
sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh
Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan
Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama
yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik
tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan
Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan
syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan
yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah,
memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di
sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah,
pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan
Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah
pembaruanterutama dalam hal metodologi.
penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan
argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam
perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap
oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam
Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara langsung,
kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat
al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat
Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti
ini belum dianggap valid, karena belum diketahui kapan dan dimana mereka
bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan
Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara,
ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang
ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para
pedatang dari Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya
ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang
diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk
dengan Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan
keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah
Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut,
manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan
adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak
memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran
Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang
kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri
dengan dunia pesantren di Indonesia.
Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India.
Pendapat lain menyebut bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi, menulis:
"Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang diketahui, Syeikh Nuruddin
ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah
darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1054 H (1644 M)." Bahawa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah
1069 H/21 September 1658 M. Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari
Tuhan Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M
bererti Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang
terlalu tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung
(ar-Raniri) di satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari
Sumatera Barat di pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang,
sehingga ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu
barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku
pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah
al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan
dalam kitab Fath al-Mubin.
Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza
pendapat dengan Ahmad Daudi di atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan
Nusantara, jilid 1, bahawa terjadi pertikaian di istana, dalam perebutan itu
telah terbunuh seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri
Alam. Dalam pada itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya
diketemukan di Kuala Aceh. Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh
Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin
ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh.
Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju,
ajaran sufi tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa
pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh
mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di
dunia Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang
memegang urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang
benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.
Peranannya Di Banda Aceh
Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh
menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat
merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi
berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan
doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan
sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang'
bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang
lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.
Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan
tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat
Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah
sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan. Maka
dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala
sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama
seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.
Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat
dikatakan berlawanan dengan faham manunggaling kawula lan Gusti'. Karena pada
konsep manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya
kopi dengan susu, maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari
sebelumnya. Sedangkan pada faham wihdatul wujud, dapat di umpamakan seperti
satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air
murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan.
Karena semuanya kembali kepada Allah.
Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan
terhadap gagasan beliau dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan
semua ciptaan adalah sama, hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah
saja.
Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan
kepercayaan syariat, dapat membelokkan aqidah. Pada zaman dulu, para waliyullah
di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan seperti
ini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.
Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan
Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi mati oleh dewan wali
(Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat,
manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.
Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat
bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja
asma Allah, ini semua karomah untuk mempertahankan keberadaan Allah.
Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran
kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran Islam
kejawen.
Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai
penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula
Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering diaku-aku
Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah. Namun banyak terdapat kesalahan
tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu. Ronggowarsito hanya
mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan
perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Tanpa referensi kepada kitab-kitab
Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang muktabar seperti
Syekh Abdul Qadir Jailani dan Ibn Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.
Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau
dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada
riwayat mengatakan beliau wafat di India.[Sumber]
No comments:
Post a Comment