1. Riwayat Hidup
Siapa
yang tidak mengenal A. Hasjmy? Tokoh Aceh ini dikenal sebagai ulama,
sastrawan, dan politikus. Ia lahir di Lampaseh Lhoek, Montasiek Aceh, pada tanggal 28
Maret 1914. Nama kecilnya adalah Muhammad Ali Hasjim. Ia juga memiliki
sejumlah nama samaran yang digunakan dalam berbagai karangannya tentang
puisi dan cerpen, seperti nama al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan Asmara
Hakiki. A. Hasjmy merupakan anak kedua Teungku Hasyim dari delapan
bersaudara. Ayahnya merupakan pensiunan pegawai negeri.
A.
Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz pada tanggal 14 Agustus 1941. Ketika
itu A. Hasjmy berumur 27 tahun, sedangkan istrinya berumur 15 tahun
(lahir pada Agustus 1926). Mereka dikaruniai tujuh putra-putri, yaitu:
(1). Mahdi A. Hasjmy (lahir pada tanggal 15 Desember 1942); (2). Surya
A. Hasjmy (lahir pada tanggal 11 Februari 1945); (3). Dharma A. Hasjmy
(lahir pada tanggal 9 Juni 1947); (4) Gunawan A. Hasjmy (lahir pada
tanggal 5 September 1949 dan meninggal pada tanggal 12 September 1949);
(5) Mulya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 23 Maret 1951); (6) Dahlia A.
Hasjmy (lahir pada tanggal 14 Mei 1953); (7) Kamal A. Hasjmy (lahir
pada tanggal 21 Juni 1955).
Hasjmy
menempuh pendidikan formal pertamanya di Government Inlandsche School
Montasie Banda Aceh, sebuah lembaga pendidikan setingkat sekolah
dasar (SD). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Thawalib
di Padang Panjang, baik pada jenjang pendidikan tsanawiyah (menengah
tingkat pertama) maupun jenjang ‘aliyah (menengah tingkat atas).
Sekolah ini telah mendidiknya jiwa patriot, cinta tanah air yang kuat,
dan menanamkan nasionalisme yang mendasar. Ia kemudian melanjutkan
pendidikannya di al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh
al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan
Islam) di Padang. Sekembalinya dari Padang Panjang dan Padang, A.
Hasjmy menjadi guru dan pendidik di Aceh. Ketika umurnya menginjak usia
50-an, ia pernah mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas
Islam Sumatera Utara, Medan.
Pada
masa mudanya, A. Hasjmy dikenal sangat aktif ikut serta dalam berbagai
kegiatan organisasi kepemudaan. Tercatat, antara tahun 1932 hingga
tahun 1935, ia menjadi anggota Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII),
dan antara tahun 1933 hingga tahun 1935 ia menjadi Sekretaris HPII
Cabang Padang Panjang. HPII merupakan sebuah organisasi underbow
partai politik Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), sebuah partai
radikal yang menganut sistem nonkooperasi terhadap pemerintahan Hindia
Belanda.
Pada
tahun 1935, A. Hasjmy mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam Aceh)
bersama dengan sejumlah pemuda yang baru pulang dari Padang. Sepia
kemudian berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam
Indonesia), dan ia menjadi salah seorang pengurus besarnya. Paramiindo
merupakan organisasi kepemudaan radikal yang giat melakukan gerakan politik untuk menentang penjajahan Belanda.
Sejak
tahun 1939, A. Hasjmy aktif sebagai anggota Pengurus Pemuda PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Aceh Besar, serta menjadi Wakil Kwartir
Kepanduan KI (Kasysyafatul Islam) Aceh Besar. PUSA merupakan
organisasi non-partai politik yang kegiatannya lebih pada gerakan
menentang penjajahan Belanda. Pada tahun 1941, bersama sejumlah teman
di PUSA, ia mendirikan suatu gerakan rahasia bawah tanah, yaitu Gerakan
Fajar. Tujuan gerakan ini mengorganisir pemberontakan terhadap
kolonialisme Belanda. Sejak awal tahun 1942, gerakan ini melakukan
kegiatan sabotase di seluruh Aceh, bahkan dengan cara perlawanan fisik.
A. Hasjmy ikut memimpin kegiatan pemberontakan ini. Karena keterlibatan
itu, ayahnya, Teungku Hasjim ditangkap Belanda dan baru bisa bebas
setelah Belanda meninggalkan Aceh.
Pada
awal tahun 1945, bersama sejumlah pemuda yang bekerja pada Kantor Aceh
Sinbun dan Domei, A. Hasjmy mendirikan organisasi IPI (Ikatan Pemuda
Indonesia), suatu organisasi rahasia yang bertujuan melakukan persiapan
untuk melawan kekuasaan Belanda yang pada saat itu kembali ke Aceh
karena kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus
1945, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan terhadap para
pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Lambat laun, IPI berubah
menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia), dan kemudian berubah lagi
menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Pesindo
(Pemuda Sosialis Indonesia). Dalam perkembangan selanjutnya, Pesindo
Aceh memisahkan diri dari DPP Pesindo karena pada saat itu DPP telah
dipengaruhi oleh ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pesindo Aceh
berdiri sendiri dengan menjadikan Islam sebagai dasarnya. Organisasi
ini mendirikan sebuah divisi laskar bernama Divisi Rencong. Sejak masih
di IPI hingga di divisi ini, A. Hasjmy bertindak sebagai pemimpinnya.
A.
Hasjmy pernah juga aktif di sejumlah partai politik lain, yaitu Permi
(Persatuan Muslim Indonesia) dan PSII (Partai Syarikat Islam
Indonesia). Ketika masih di Aceh, ia pernah menjadi Ketua Dewan
Pimpinan Wilayah PSII. Ia bahkan pernah
ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, dalam kurun waktu
September 1953 sampai Mei 1954 karena dituduh terlibat dalam
pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Ketika pindah ke Jakarta, ia menjadi Ketua Departemen Sosial Lajnah Tanfiziyah DPP PSII.
Selain
aktif di berbagai kegiatan organisasi, A. Hasjmy juga aktif memegang
sejumlah jabatan pemerintahan. Pada masa awal Indonesia merdeka, ia
aktif sebagai pegawai negeri dan memegang jabatan-jabatan sebagai
berikut: Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946-1947);
Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan
Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Provinsi
Aceh (1950); Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan
Sosial Kementerian Sosial di Jakarta (1957); Gubernur Aceh (1957-1964);
dan diperbantukan sebagai Menteri Dalam Negeri (1964-1968). Pada tahun
1966, ia pensiun dari pegawai negeri sebelum masanya (52 tahun) karena
atas permintaannya sendiri.
Penunjukan
A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh disebabkan karena pada saat itu Aceh
sedang dalam masa krisis, di mana sering terjadi konflik bersaudara.
Masyarakat Aceh menilai penunjukan dirinya tepat, terbukti ia berhasil
memulihkan keamanan Aceh pada saat itu. Apalagi, sejak masa pemulihan
itu, ia beserta beberapa kawan seperjuangannya mulai memikirkan dan
memusatkan perhatian pada pengembangan dunia pendidikan di berbagai
wilayah di Aceh. Pengabdiannya terhadap dunia pendidikan berhasil
mengangkat Aceh sebagai Kopelma (Kota Pelajar dan Mahasiswa)
Darussalam. Kopelma merupakan pusat pendidikan untuk tingkat provinsi
(Aceh). Di Aceh terdapat dua buah perguruan tinggi yang terkenal, yaitu
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry dan Universitas Syiah
Kuala (Unsyiah). Di samping itu, berdiri sejumlah perkampungan pelajar
di beberapa kabupaten dan juga berdiri sejumlah taman pelajar di
beberapa kecamatan di seluruh Aceh (yang kini bernama Pusat Pendidikan
Tinggi Darussalam Mini).
Setelah
tidak lagi memegang jabatan pemerintahan, A. Hasjmy kemudian aktif
dalam berbagai kegiatan intelektual. Ia diangkat sebagai Dekan Fakultas
Dakwah (Publisistik) IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 1968. Ia
diangkat dan dikukuhkan sebagai Guru Besar (Prof) dalam ilmu dakwah di
IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, pada tahun 1976. Ia kemudian menjabat
sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry sejak tahun 1977 hingga November 1982.
A.
Hasjmy sebenarnya juga pernah memegang sejumlah jabatan non-birokratis
lainnya, baik di pemerintahan maupun di pendidikan, yaitu: Anggota
Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (1946-1947); Anggota Staf
Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo (1947); Anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (1949); Pimpinan Kursus Karang Mengarang di
Kutaraja dan menjadi staf pengajarnya juga (1947-1948 dan 1950-1951);
Ketua II Panitia Persiapan Universitas Sumatera Utara (USU), Medan
(1957); Wakil Ketua Umum Panitia Persiapan Fakultas Ekonomi Negeri
Kutaraja (1958); Ketua Umum Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Agama
Islam Negeri, Kutaraja (1959); Anggota Pengurus Besar Front Nasional
(1960); Ketua Umum Panitia Persiapan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry
(1960); Ketua Umum Panitia Persiapan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)
(1960); Ketua DPR-GR Daerah Istimewa Aceh (1961); Ketua Dewan Kurator
Universitas Syiah Kuala (1962-1964); Pimpinan Umum Harian Nusa Putra
dan Staf Redaksi Harian Karya Bhakti di Jakarta (1964-1965); Anggota
MPRS Golongan B (wakil Daerah Istimewa Aceh) (1967); menjadi dosen mata
kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan Ilmu Dakwah pada beberapa fakultas
di Kopelma Darussalam (sejak tahun 1967); Wakil Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Aceh (sejak tahun 1969); Ketua Umum MUI
Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sejak tahun 1982); Anggota Dewan
Pertimbangan MUI Pusat (sejak berdirinya lembaga ini); Ketua Umum LAKA
(Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh) (sejak berdirinya lembaga ini);
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Daerah Istimewa Aceh (sejak
berdirinya lembaga ini); dan Anggota Dewan Penasehat ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) Pusat.
Ketika
tidak aktif di pemerintahan dan hanya aktif di dunia pendidikan, telah
puluhan kali A. Hasjmy menyampaikan makalah dalam berbagai kesempatan
seminar, lokakarya, simposium, konferensi, dan muktamar, baik di dalam
negeri maupun luar negeri. Sebagai bentuk apresiasi dirinya terhadap
pengembangan keilmuan, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy pada
awal tahun 1989. Pada tahun 1990, atas persetujuan istrinya dan semua
putra-putrinya, ia mewakafkan kepada yayasan tersebut berupa tanah
seluas hampir 3.000 m2, rumahnya, buku-buku lebih dari 15.000 jilid,
naskah-naskah tua, album-album foto bernilai sejarah dan budaya, dan
masih banyak sekali benda budaya lainnya. Semua barang miliknya
dijadikan koleksi Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy.
Pada tanggal 15 Januari 1991, perpustakaan dan museum ini diresmikan
oleh Prof. Dr. Emil Salim, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup pada saat itu.
2. Pemikiran
A.
Hasjmy merupakan tokoh besar Aceh yang memiliki pemikiran
multi-dimensi. Ia dikenal sebagai ulama, politisi, sastrawan, dan juga
sekaligus budayawan. Berikut ini dikemukakan sejumlah butir
pemikirannya yang dikelompokkan dalam beberapa bidang pemikiran.
2. 1. Pemikiran Politik Kebangsaan
A.
Hasjmy mempunyai jiwa nasionalisme dan patriotisme yang sungguh besar.
Hal ini dibuktikan dengan perannya dalam mempengaruhi pemerintah RI
pusat agar mau melepaskan Aceh dari “kungkungan” Provinsi Sumatera
Utara dan berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Pada tanggal 1
Januari 1957, usahanya berhasil mendapat persetujuan dari Presiden
Soekarno, Presiden RI Pertama.
Oleh
Kabinet Ali Sastroamidjoyo ke-2, A. Hasjmy diminta menjabat sebagai
Gubernur Aceh yang pertama kali (1957). Tugasnya yang paling pokok
adalah menyusun pemerintahan daerah dan memulihkan keamanan. Ia pernah
berhasil mengatasi pemberontakan Darul Islam dengan cara damai. Hal itu
ia lakukan menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (untuk kembali ke UUD
1945 dengan dasar Pancasila), tepatnya ketika Sidang Istimewa Kabinet
Karya dilakukan pada permulaan bulan Mei 1959. Sidang ini secara khusus
membahas tentang penyelesaian pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII). Sidang ini dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. H.
Juanda, yang juga dihadiri oleh sejumlah pejabat negara, termasuk
Panglima Kodam I Kolonel Sjamaun Gaharu dan Gubernur Aceh A. Hasjmy.
Dalam
sidang itu, A. Hasjmy memberikan penjelasan tentang perjuangan rakyat
dalam menegakkan dan mempertahankan NKRI sejak masa Revolusi 1945
sampai Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Ia mengajak
Darul Islam agar kembali ke pangkuan NKRI dengan cara memberikan status
keistimewaan pada Provinsi Aceh. Makna keistimewaan berarti
memperkokoh NKRI yang berpedoman pada Pancasila, dengan tetap
memperhatikan kekhususan dan kekhasan sejarah sosial-budaya Aceh yang
memang banyak didasarkan pada ajaran Islam.
A.
Hasjmy berpandangan bahwa realitas budaya Aceh yang sangat khas dan
bernafaskan Islam tidak menghalangi penerimaan masyarakat Aceh terhadap
Pancasila. Menurutnya, Pancasila merupakan pedoman hidup nasionalisme
yang tetap memperhatikan religiusitas dan monoteisme. Dengan demikian,
nafas dan nyawa masyarakat Aceh adalah sama dengan struktur dan kultur
seluruh bangsa Indonesia dalam bingkai Pancasila itu sendiri. Sehingga,
masyarakat Aceh tidak perlu alergi terhadap Pancasila.
Sebagai
tindak lanjut dari Sidang Istimewa Kabinet Karya, PM Juanda
memberitahukan kepada A. Hasjmy bahwa Kabinet Karya akan mengirimkan
Misi Pemerintah ke Aceh di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri II
Idham Chalid. A. Hasjmy menolak penunjukkan itu dengan mengusulkan agar
yang memimpin misi pemerintah tersebut adalah Mr. Hardi, Wakil Perdana
Menteri I pada Kabinet Karya. Padahal, Mr. Hardi merupakan tokoh
nasionalis (anggota DPP PNI/Partai Nasionalis Indonesia), berbeda
dengan Idham Chalid yang jelas-jelas berasal dari kelompok Islam karena
ia seorang ulama (Nahdhatul Ulama/NU) terkenal pada saat itu. Ketika
ditanya oleh PM. Juanda tentang apa alasan A. Hasjmy lebih suka
menunjuk Mr. Hardi daripada Idham Chalid, A. Hasjmy menjawab dengan
lugas: “NU, partainya Pak Idham Chalid sudah sejak semula mendukung
kebijaksanaan pemulihan keamanan di Aceh; sementara PNI semenjak Mr.
Ali Sastroamidjojo memimpin kabinet terus menentang penyelesaian dengan
cara bijaksana. Kalau Wakil PM Idham Chalid yang memimpin misi, besar
sekali kemungkinan PNI tidak akan menyetujui hasil-hasil yang dicapai
misi. Lain halnya, kalau orangnya sendiri yang memimpin misi, yaitu
Wakil PM Mr. Hardi”.
A.
Hasjmy memiliki pemikiran yang strategis terhadap pemulihan kondisi di
Aceh secara damai. Ia tidak memperdulikan apakah yang memegang amanat
misi pemerintah itu harus berasal dari kelompok Islam atau tidak,
mengingat Aceh begitu kental dengan nuansa keagamaannya. Ia berpikir
bahwa kelompok yang selama ini kontra (kelompok nasionalis) justru
perlu dirangkul dengan menjadikan salah satu tokohnya sebagai pemimpin
misi pemerintah ke Aceh (Mr. Hardi). Maka, dengan cara seperti ini
kepentingan semua kelompok dapat diakomodir, tidak hanya satu kelompok
saja. Berdasarkan pemikiran semacam itu, A. Hasjmy merupakan tokoh
politisi yang mau bersikap terbuka dengan menerima berbagai perbedaan
yang ada.
2. 2. Pemikiran Kebudayaan dan Keagamaan
Pemikiran
keagamaan A. Hasjmy banyak berhubungan dengan kondisi Aceh yang selama
ini dikenal sangat kental dengan nuansa keislamannya, dalam sistem
sosial, politik, dan kehidupan keberagamaannya. Pada tahun 1990, ia
menjabat sebagai Ketua LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh).
LAKA
didirikan untuk meningkatkan peran, fungsi, dan sistem lembaga adat
dan kebudayaan agar sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
ketatanegaraan Republik Indonesia. Rumusan tujuan LAKA sudah tercermin
dalam UUD 1945 pasal 32 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”. Dalam Penjelasan UUD 1945 tentang pasal 32 dinyatakan bahwa
“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
melaju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak
menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemauan bangsa Indonesia”.
Di
bawah kepemimpinan A. Hasjmy, LAKA banyak melakukan kegiatan-kegiatan
pelestarian adat dan kebudayaan Aceh. Di samping itu, lembaga ini juga
menyegarkan adat dan kebudayaan tersebut dengan mengintrodusir
pengaruh-pengaruh positif dari adat dan kebudayaan lain (di luar Aceh).
Apa yang dilakukan A. Hasjmy bersama lembaganya itu tiada lain
mencerminkan jiwa nasionalisme Indonesia yang tidak sempit, dengan
tetap mengakar kepada adat dan kebudayaan Aceh.
Jika
kita menelisik pemikiran A. Hasjmy secara seksama, maka akan terlihat
progresivitas dalam berbagai pemikirannya. Ia pernah mengatakan bahwa
penerapan syariat Islam di Aceh tidak perlu dipahami secara eksklusif
karena pada dasarnya umat manusia diberikan kebebasan untuk memilih
Islam. Tentang hal ini, ia mengatakan: “Islam tidak memaksa. Anda dengan rela memilih Islam, kita menerimanya, Aceh selalu terbuka!”
Artinya, Islam adalah agama yang tidak memaksa. Islam adalah agama
yang menyeru kepada kebaikan, sehingga umat manusia dapat menerimanya
atau tidak menerimanya. Hanya saja, memang orang yang dapat menerima
Islam sebagai pedoman hidup merupakan orang yang tepat karena telah
menjadikan agama ini sebagai pedoman jalan hidupnya.
Islam
dan adat dalam kehidupan sosial-kebudayaan Aceh seakan-akan tidak
dapat dipisahkan karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling
menyatu. Kaitan erat keduanya, misalnya dapat terlihat pada kesenian
atau kerajinan tangan Aceh yang banyak merujuk pada simbol-simbol
keislaman. Segala sesuatu hal yang berbau kesenian atau keindahan tidak
bisa dianggap sebagai sesuatu di luar agama. Tentang hal ini, A.
Hasjmy pernah berujar: “Kita tidak menolak hal-hal yang membawa
kesan keindahan, kerajinan, dan ketenangan. Seni itu indah, ia
dilahirkan oleh dasar keinsafan dan kemuliaan”. Maka, tidak aneh jika ternyata kesenian dan kerajinan tangan Aceh terus berkembang.
A.
Hasjmy dikenal sebagai ulama yang berpenampilan sangat sederhana.
Sehari-harinya ia mengenakan kopiah yang rapi dengan motif yang sering
berbeda-beda. Ia memang dikenal sangat bangga mengenakan pakaian adat
Aceh dalam kehidupan sehari-harinya. Ada makna apa di balik baju Aceh
itu? Ternyata, di balik itu ada makna budaya yang sangat mendalam.
Konon, pakaian adat Aceh memberikan getaran semangat kepada si
pemakainya. Jika dilihat dari sudut pandang budaya Islami, kemungkinan
ia sedang menerjemahkan berbagai bentuk budaya Islami dalam model
budaya keacehan. Ia sedang melakukan “pribumisasi” atau
“kontekstualisasi” terhadap budaya Islami yang ketika itu memang lebih
dahulu berkembang di berbagai pelosok dunia.
2. 3. Pemikiran Pendidikan
Pada
masa awal kemerdekaan, tingkat pendidikan di Aceh masih sangat rendah.
Hal itu memang telah disengaja oleh Belanda agar mereka lebih dapat
berkuasa dan menjajah Aceh dalam waktu yang cukup lama. Ketika A.
Hasjmy menjadi Gubernur Aceh banyak hal yang berhasil dilakukannya,
termasuk dalam bidang pendidikan.
Kecintaan
A. Hasjmy terhadap dunia pendidikan tidak dapat disangsikan lagi. Ia
sangat mementingkan pendidikan dalam hidupnya. Bahkan, ia sering
menasehati generasi muda agar memperhatikan pendidikan sebagai modal
penting dalam hidup ini. Kecintaannya terhadap pendidikan tersebut
dilukiskan dalam syairnya berikut ini:
Memetik bakti
Sungguh berat tanggungan pemuda
Pelindung umat harapan bangsa
Karena itu wahai pemudaku
Berkemaslah saudara siapkan diri
Penuhkan dadamu dengan ilmu
Ajarkan hati bercita tinggi
Biarkan kita miskin harta
Asal ruhani kaya raya
Janganlah saudara beriba hati
Karena papa tiada beruang
Apa guna kaya jasmani
Kalau jiwa bernasib malang
Ingatlah wahai pemudaku sayang
Bunda tiada mengharapkan uang
Beliau menanti sembahan suci
Dari puteranya pemuda baru
Mari saudaraku memetik bakti
Kita persembahkan kepada ibu
(Dewan Sajak, 1938)
Sungguh berat tanggungan pemuda
Pelindung umat harapan bangsa
Karena itu wahai pemudaku
Berkemaslah saudara siapkan diri
Penuhkan dadamu dengan ilmu
Ajarkan hati bercita tinggi
Biarkan kita miskin harta
Asal ruhani kaya raya
Janganlah saudara beriba hati
Karena papa tiada beruang
Apa guna kaya jasmani
Kalau jiwa bernasib malang
Ingatlah wahai pemudaku sayang
Bunda tiada mengharapkan uang
Beliau menanti sembahan suci
Dari puteranya pemuda baru
Mari saudaraku memetik bakti
Kita persembahkan kepada ibu
(Dewan Sajak, 1938)
Ketika
menjabat sebagai gubernur, A. Hasjmy berpikir bahwa tugas atau program
pokok pemerintahannya adalah meningkatkan pendidikan rakyat. Sebagai
implementasi dari program ini, maka muncul apa yang disebut sebagai
gerakan “Konsepsi Pendidikan Darussalam”. Tujuan dari gerakan ini
adalah untuk melahirkan manusia Pancasila yang berjiwa benar,
berpengetahuan luas, dan berbudi luhur.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka pada tahap awal direncanakan
pembangunan pusat-pusat pendidikan pada: (a). Tiap-tiap ibukota
kecamatan yang dinamakan Taman Pelajar, yang mencakup di dalamnya:
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, guru,
asrama pelajar, dan sebagainya; (b). Tiap-tiap ibukota kabupaten yang
dinamakan Perkampungan Pelajar, mencakup di dalamnya: Sekolah Menengah
Pertama, Sekolah Menengah Atas, rumah guru, asrama pelajar, dan
sebagainya; (c). Di ibukota Daerah Istimewa Aceh yang dinamakan Kota
Pelajar/Mahasiswa Darussalam, mencakup di dalamnya: sekolah lanjutan
atas dan berbagai lembaga pendidikan tinggi.
Dalam
waktu yang relatif singkat, program pembangunan Kota Pelajar/Mahasiswa
Darussalam atau yang lebih dikenal Kopelma Darussalam benar-benar
terwujud. Di Aceh, berdiri dua universitas besar kenamaan, yaitu
Universitas Syiah Kuala dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jami‘ah
Ar-Raniry. Universitas yang pertama dikenal sebagai pusat pendidikan
tinggi yang bersifat umum, sedangkan universitas yang kedua dikenal
sebagai pusatnya kajian keagamaan, khususnya Islam.
Program
pembangunan pendidikan tersebut masih dilanjutkan dan dikembangkan
oleh generasi pasca-A. Hasjmy, bahkan hingga kini. Pembangunan
sumberdaya manusia di Aceh telah mendapatkan dasar-dasar pemikirannya
melalui para tokoh pembaharu pendidikan pada masa lalu, terutama
melalui pembentukan sejumlah universitas di sana. Dengan demikian,
hasil pembangunan yang sekarang diraih merupakan buah dari pohon yang
telah ditanam dalam kepemimpinan masa lalu. Dalam hal ini, A. Hasjmy
ikut berkontribusi penting karena telah membuat Pola Dasar Pembangunan
Lima Tahun yang pertama atau disebut dengan sebutan “Aceh Membangun”,
yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Aceh No. 19/1962 tanggal 17 Januari 1962.
Landasan
dari konsep “Aceh Membangun” adalah cita-cita dan kepribadian rakyat
Aceh sebagaimana dinyatakan di dalam Piagam Pancacita. Penyusunan
konsep ini dilakukan oleh sebuah komisi yang dibentuk secara resmi
melalui keputusan Gubernur Kepala Daerah Aceh. Untuk
mengimplementasikannya, maka pada setiap tahunnya konsep ini dijabarkan
secara rinci sehingga menjadi jelas dalam proses pelaksanaannya.
A.
Hasjmy pernah mengeluarkan Keputusan No. 90 Tahun 1960 yang menetapkan
tanggal 2 September sebagai Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Hal
itu dilakukan untuk memajukan pendidikan di Aceh. Dalam rangka Hari
Pendidikan Daerah itu dibuatkan piala bergilir yang diperebutkan setiap
tahunnya. Ketika itu juga diciptakan dua lagu mars, yaitu Mars Hari Pendidikan dan Mars Darussalam. Kedua lagu wajib itu harus dinyanyikan para murid sekolah dasar hingga perguruan tinggi di Daerah Istimewa Aceh.
Pasca-kepemimpinan
A. Hasjmy, pembangunan pendidikan di Aceh masih terus berjalan dengan
sistem yang terintegrasi secara baik. Generasi muda setelahnya dengan
mudah meneruskan kegiatan-kegiatan pendidikan karena generasi
sebelumnya telah memberikan panduan yang komprehensif tentang konsep
pembangunan pendidikan.
Pada
tanggal 13 Mei 1967, Gubernur Kepala Daerah Daerah Istimewa Aceh
ketika itu melalui suratnya No. 27/1967 menetapkan bahwa tugas
pengawasan dan pembangunan Kopelma Darussalam diserahkan kepada Yayasan
Pembangunan Darussalam (YPD). Ketika itu, A. Hasjmy menjabat sebagai
Ketua YPD. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan Kopelma
Darussalam yang telah dirintis sejak tahun 1958 masih berjalan.
2. 4. Pemikiran Kesusastraan
A.
Hasjmy memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan
kesusastraan Indonesia. Ia juga pernah membina cikal bakal pengembangan
jurnalisme tanah air, terutama di Aceh, sejak sebelum Perang Dunia
Kedua. Ia memulai kiprah dalam bidang penulisan sastra sejak usia 16
tahun. Sejak saat itu, ia aktif menulis prosa, roman, esai, puisi, dan
karangan ilmiah.
A.
Hasjmy merupakan pengamat teks Melayu klasik. Pada masanya, Aceh
memang dikenal melahirkan banyak pengarang kesusastraan, baik dalam
bahasa Aceh, bahasa Melayu, dan bahasa Arab. A. Hasjmy banyak
menggunakan teks-teks dari ketiga bahasa itu untuk memperkuat
bukti-bukti sejarah pada setiap karya yang ditulisnya. Di antara
teks-teks yang dimaksud adalah Sufinat al-Hukkam, Hikayat Malem Dagang, Syarah Rubai Hamzah Fansuri, Idharul Haaq, Hikayat Putra Nurul A‘la, Hikayat Perang Sabi, Qanun al-Asyi, Hikayat Pocut Muhammad, dan lain-lain.
2. 4. 1. Sastra Perjuangan
Salah satu karya sastra A. Hasjmy yang menggunakan salah satu dari teks-teks tersebut adalah Hikayat Perang Sabil: Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda
(Banda Aceh: Firma Pustaka Faraby, 1971). Buku tersebut mendasari
sepenuhnya pemikiran dan latar belakang sejarah dalam karya klasik
Teungku Chik Pante Kulu, Hikayat Prang Sabi, yang ditulis pada
masa penjajahan Belanda di bumi Aceh (1873-1888). Menurut sejumlah
sumber, A. Hasjmy melakukan penambahan terhadap isi karya Teungku Chik
Pante Kulu dan kemudian menerbitkannya ulang.
Syair-syair
dalam buku A. Hasjmy itu pernah digunakan dalam sebuah tuntutan
referedum mayarakat Aceh pada tanggal 8 November 1999. Sekitar dua juta
masyarakat Aceh memadati Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tidak
henti-hentinya massa meneriakkan tuntutan referendum sembari membacakan
syair-syair dalam buku A. Hasjmy tersebut.
A. Hasjmy dikenal sebagai sastrawan angkatan Pujangga Baru. Buku Hikayat Perang Sabil
terkait dengan masa penjajahan Belanda. Pada bagian mukadimah buku ini
terdapat puji-pujian kepada Allah SWT yang kemudian dilanjutkan dengan
seruan untuk melakukan Perang Sabil. Disebutkan bahwa barangsiapa yang
mau berjihad dalam perang sabil, maka akan mendapatkan pahala. Salah
satu bentuk pahala yang dimaksud bahwa mereka akan bertemu dengan
dara-dara dari surga.
Buku
ini memuat empat kisah penting, yaitu Kisah Ainul Mardliyah, Kisah
Pasukan Gajah, Kisah Said Salmy, dan Kisah Budak Mati Hidup Kembali. Di
antara empat kisah ini, Kisah Pasukan Gajah merupakan satu-satunya
kisah yang bersumber dari ajaran Islam. Inti dari keseluruhan kisah
tersebut adalah memberikan pengertian kepada para pembaca bahwa
berjuang atau berperang melawan musuh (penjajah Belanda) merupakan
suatu ibadah dan kesyahidan yang akan mendatangkan pahala di akhirat
kelak.
Kisah
Ainul Mardliyah bercerita tentang penyambutan ratu bidadari surgawi
bagi mereka yang mati syahid. Dikisahkan, ketika hendak berperang ada
seorang pemuda bernama Muda Belia yang bermimpi bahwa dirinya di surga
dan bertemu ratu bidadari surgawi bernama Ainul Mardliyah. Sang ratu
menolak cinta pemuda itu karena yang hanya dicintainya adalah seseorang
yang mau mati syahid. Maka, Muda Belia berperang melawan musuh-musuh
hingga akhirnya ia mati syahid.
Kisah
Pasukan Gajah bercerita tentang kegagalan serangan sebuah pasukan
besar untuk menghancurkan Kabah di Mekkah pada tahun 570 M. Kerajaan
Habsjah dan Kerajaan Parsia Majusi pernah menyerang Mekkah dengan
pasukan berkendaraan gajah. Namun, ternyata mereka justru diserang oleh
suatu wabah penyakit yang menyebabkan pasukan tersebut kocar-kacir
berlarian untuk menyelamatkan diri. Sedangkan Kisah Said Salmy dan
Kisah Budak Mati Hidup Kembali sebenarnya sama saja dengan Kisah Ainul
Mardliyah, yaitu tentang mati syahid dan pahala bagi yang melakukannya.
Berdasarkan paparan isi singkat buku Hikayat Perang Sabil,
pemikiran A. Hasjmy terlihat bermuatan tentang pergerakan kepada
masyarakat tanah air, terutama masyarakat Aceh untuk berjuang melawan
penjajahan musuh, di antaranya Belanda. Maka, tidak aneh jika
masyarakat Aceh yang menuntut referendum di Masjid Baiturrahman Banda
Aceh membacakan syair-syair buku itu sebagai salah satu sumber kekuatan
untuk menyemangati harapan dan perjuangan mereka.
Ada
satu sajak karya A. Hasjmy yang menggambarkan betapa perjuangan
melawan penindasan dan penjajahan Belanda perlu dilandasi dengan
kesabaran dan ketabahan hati yang sangat kuat.
Sungguhpun godaan datang berpalun,
Setiap saat gelombang menyerang,
Namun imanku tidak kan goyang.
Biarpun cobaan datang beruntun,
Hatiku tetap bagai semula,
Rela badan jadi binasa.
Setiap saat gelombang menyerang,
Namun imanku tidak kan goyang.
Biarpun cobaan datang beruntun,
Hatiku tetap bagai semula,
Rela badan jadi binasa.
Sajak
di atas dibuat A. Hasjmy pada tahun 1936 yang menunjukkan betapa
kegigihan dan ketabahan dirinya ketika masih muda. Ia merupakan salah
satu tokoh puncak Aceh yang pernah melakukan perjuangan fisik bersama
tokoh-tokoh lainnya dalam mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung
dalam kesatuan laskar bersenjata Divisi Rencong.
2. 4. 2. Sastra Praksis
A.
Hasymi memiliki perasaan iba terhadap nasib rakyat bawah. Hal itu
diekspresikan dalam sejumlah sajak-sajak yang ditulisnya. Perasaan dan
sentuhan emosionalnya dalam menangkap jeritan rakyat kecil di
lingkungannya telah membangkitkan refleksi dirinya terhadap apa yang
disebut sebagai sastra praksis (pembebasan). Ada salah satu sajaknya
yang merefleksikan hal ini:
Beri Hamba sedekah, o toean,
Beloem makan dari pagi,
Tolonglah patik, wahai toean,
Setegoek air, sesoeap nasi.
Lihatlah, toean nasib kami,
Tiada sanak tiada saudara,
Pakaian di badan tidak terbeli,
Sepandjang djalan meminta-minta,
Lihatlah, toean, oentoeng kami,
Pondok tiada, hoema tiada,
Bermandi hoedjan, berpanas hari,
Di tengah djalan terloenta-loenta.
Boekan salah boenda mengandoeng,
Boeroek soeratan tangan sendiri,
Soedah nasib, soedah oentoeng,
Hidoep malang hari ke hari.
O, toean djangan kami ditjibirkan,
Djika sedekah tidak diberi,
Tjoekoep soedah sengsara badan,
Djangan lagi ditoesoek hati...
(Dewan Sajak, 1938)
Beloem makan dari pagi,
Tolonglah patik, wahai toean,
Setegoek air, sesoeap nasi.
Lihatlah, toean nasib kami,
Tiada sanak tiada saudara,
Pakaian di badan tidak terbeli,
Sepandjang djalan meminta-minta,
Lihatlah, toean, oentoeng kami,
Pondok tiada, hoema tiada,
Bermandi hoedjan, berpanas hari,
Di tengah djalan terloenta-loenta.
Boekan salah boenda mengandoeng,
Boeroek soeratan tangan sendiri,
Soedah nasib, soedah oentoeng,
Hidoep malang hari ke hari.
O, toean djangan kami ditjibirkan,
Djika sedekah tidak diberi,
Tjoekoep soedah sengsara badan,
Djangan lagi ditoesoek hati...
(Dewan Sajak, 1938)
Sajak
di atas menunjukkan bahwa sejak muda A. Hasjmy tidak hanya menempatkan
dirinya di barisan orang-orang penting, tetapi ia juga ikut merasakan
bagaimana nasib rakyat jelata. Ia tidak mau terlena dengan kehidupan
kaum elit yang memanjakan kesenangan dan kebahagiaan, namun tidak peka
terhadap kondisi kemiskinan di sekelilingnya. Ia justru melihat bahwa
isu-isu kemiskinan dan ketertindasan sebagai masalah yang harus segera
dipecahkan.
3. Karya
Karya-karya A. Hasjmy sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:
3. 1. Karya di Bidang Sastra
- Kisah Seorang Pengembara (sajak), (Medan: Pustaka Islam, 1936)
- Sayap Terkulai (roman perjuangan), 1983, tidak terbit, naskahnya hilang di Balai Pustaka waktu pendudukan Jepang.
- Dewan Sajak (puisi), Medan: Centrale Courant, 1938.
- Bermandi Cahaya Bulan (roman pergerakan), Medan: Indische Drukkrij, 1939; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Melalui Jalan Raya Dunia (roman masyarakat), Medan: Indische Drukkrij, 1939; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Suara Azan dan Lonceng Gereja (roman antar agama), Medan: Syarikat Tapanuli, 1940; Jakarta: Bulan Bintang, 1978; Singapura: Pustaka Nasional, 1982.
- Cinta Mendaki (roman filsafat/perjuangan), naskah ini hilang pada Balai Pustaka, Jakarta pada saat pendudukan Jepang.
- Dewi Fajar (roman politik), Banda Aceh: Aceh Sinbun, 1943.
- Rindu Bahagia (kumpulan sajak dan cerpen), Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963.
- Jalan Kembali
(sajak bernafaskan Islam), Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963
(telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hafiz Arif (Harry
Aveling).
- Semangat Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru (analisa sastra), Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963.
- Hikayat Perang Sabil: Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda, Banda Aceh: Firma Pustaka Faraby, 1971.
- Ruba‘i Hamzah Fansury, Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1974.
- Sumbangan Kesusasteraan Aceh dalam Pembinaan Kesusasteraan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
- Tanah Merah (roman perjuangan), Jakarta: Bulan Bintang, 1977
- Meurah Johan (roman sejarah Islam di Aceh), Jakarta: Bulan Bintang, 1950.
- Sastra dan Agama, Banda Aceh: BHA Mejelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 1980.
- Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah, Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
- Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
- Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
- Kesasteraan Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
- Sejarah Kesusasteraan Islam Arab (tidak diterbitkan)
3. 2. Karya di Bidang Sejarah dan Agama
- Kerajaan Saudi Arabia (riwayat perjalanan), Jakarta: Bulan Bintang, 1957.
- Pahlawan-pahlawan Islam yang Gugur (saduran dari bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1981, cet. IV; Singapura: Pustaka Nasional, 1971 dan 1982 (cet. IV).
- Sejarah Kebudayaan dan Tamaddun Islam, Banda Aceh: Lembaga Penerbit IAIN Jami‘ah Ar-Raniry, 1969.
- Yahudi Bangsa Terkutuk, Banda Aceh: Pustaka Faraby, 1970.
- Islam dan Ilmu Pengetahuan Moderen (terjemahan dari bahasa Arab), Singapura: Pustaka Nasional, 1972.
- Dustur Dakwah Menurut Al-Qur‘an, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 dan 1994 (cet. III).
- Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 dan 1993 (cet. V).
- Cahaya Kebenaran (Terjemahan Al-Qur‘an, Juz Amma), Jakarta: Bulan Bintang, 1979; Singapura: Pustaka Nasional, tahun belum diketahui datanya.
- Iskandar Muda Meukuta Alam: Sejarah Hidup Sultan Iskandar Muda, Sultan Aceh Terbesar, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
- Surat-surat dari Penjara
(catatan sewaktu ia dalam penjara berupa surat-surat kepada
anak-anaknya kurun waktu tahun 1953-1954), Jakarta: Bulan Bintang,
1978.
- Peranan Islam dalam Perang Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Langit dan Para Penghuninya (terjemahan dari bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Apa Sebab Al-Qur‘an tidak Bertentangan dengan Akal (terjemahan dari Bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Mengapa Ibadah Puasa Diwajibkan Akal (terjemahan dari Bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
- Mengapa Ummat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang, Jakarta: Mutiara, 1978.
- Dakwah Islamiyah dan Kaitannya dengan Pembangunan Manusia, Jakarta: Mutiara, 1978.
- Pokok Pikiran Sekitar Dakwah Islamiyah, Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 1981.
- Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Ma‘arif, 1981.
- Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh di Nusantara, Surabaya, Bina Ilmu, 1984.
- Bernarkah Dakwah Islamiyah Bertugas Membangun Manusia, Bandung: Al-Ma‘arif, 1983.
- Publisistik dalam Islam, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
- Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
- Malam-malam Sepi di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta, Banda Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1992.
- Mimpi-mimpi Indah di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta, Banda Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1993.
- Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang (belum diketahui data penerbitnya).
3. 3. Karya di Bidang Politik
- Di Mana Letaknya Negara Islam (tata negara Islam), Singapura: Pustaka Nasional, 1970; Surabaya: Bina Ilmu, tahun belum diketahui datanya.
- Pemimpin dan Akhlaknya, Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh, 1973.
- Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda (berasal dari buku Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda, setelah ditambahkan dan disempurnakan), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
- Perang Gerilya dan Pergerakan Politik di Aceh untuk Merebut Kemerdekaan Kembali, Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 1980.
- Mengenang Kembali Perjuangan Missi Hardi, Bandung: Al-Ma‘arif, 1983.
- Ulama Indonesia sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamaddun Bangsa (belum diketahui data penerbitnya).
3. 4. Karya di Bidang Hukum
- Sejarah Hukum Islam, Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1970.
3. 5. Karya di Bidang Etika
- Risalah Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
3. 6. Karya di Media Massa
A.
Hasjmy aktif menulis di berbagai majalah dan harian yang terbit di
Banda Aceh, Medan, Padang Panjang, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya,
Singapura, dan Malaysia. Berikut ini adalah daftar media massa yang
pernah ditulisnya:
- Sebelum
Perang Dunia II: Pujangga Baru (Jakarta), Angkatan Baru (Surabaya),
Pahlawan Muda (Padang), Kewajiban (Padang Panjang), Raya, Matahari
Islam, Pemimpin Redaksi (Padang), Panji Islam, Pedoman Masyarakat,
Gubahan Maya, Suluh Islam, Miami (Medan), Fajar Islam (Singapura),
- Setelah
Perang Dunia II: Dharma, Pahlawan, Widjaya, Bebas, Sinar Darussalam,
Majalah Puwan, Gema Ar-Raniry, Serambi Indonesia (Banda Aceh), Nusa
Putera, Karya Bakti, Majalah Amanah, Panji Masyarakat, Harmonis, Mimbar
Ulama (Jakarta), Harian Waspada (Medan).
4. Penghargaan
A.
Hasjmy mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putera Utama dari
pemerintah Republik Indonesia yang langsung diserahkan oleh Presiden
Soeharto pada saat upacara memperingati Hari Ulang Tahun RI ke-48
(tanggal 17 Agustus 1993). Pemerintah Mesir juga pernah menganugerahi
bintang perhargaan tertinggi kepada A. Hasjmy yang langsung disematkan
oleh Presiden Hosni Mubarak ketika itu.
(HS/tkh/34/12-07).
Sumber:
- “Ali Hasjmy”, dalam www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/hasjmy.html, diakses tanggal 25 November 2007.
- Ismail, Badruzzaman dkk (ed.). 1994. Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia: A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan. Jakarta: Bulan Bintang.
- “Sastra dan Perang Aceh”, dalam http://kompas.com/kompas-cetak/0401/24/pustaka/816040.htm, diakses tanggal 24 November 2007.
No comments:
Post a Comment